Cerita Dewasa Main Serong Dengan Tante
MEMEKY.COM - Cerita Dewasa, Cerita Ngentot, Cerita Tante, Kisah Seks, Cerita Panas, Cerita Mesum, Cerita Bokep, Cerita Sedarah, Sex Gambar. Situs yang selalu update dan memberikan yang terbaik untuk sobat semua, jadi jangan sungkan untuk berkunjung kembali ke situs www.memeky.com.
Baca dengan menggunakan perasaan agar ceritanya lebih bermakna. Aku
keluar kamar dengan perasaan tak menentu, listrik yang telah menyala
kembali, menerangi langkahku, mengarahkan kakiku kearah ruang makan,
mengambil gelas, mengisinya dengan air, meneguknya cepat, seperti ada
rasa haus yang mendera setelah sekian lama kerongkongan tidak dibasahi,
walaupun udara dingin merasukiku sampai ke sendi tulang. Dan sepertinya
kudengar dari arah depan layaknya suara ban yang melindas batu-batu
kerikil, aku memasang telinga lebar-lebar, menatap kearah ruang depan.
Kulirik kearah dinding, jam menunjukkan pukul 12 lewat, rasa
keingintahuanku segera hilang, ketika kudengar suara mobil seperti
menekan gas dalam-dalam, seolah untuk memastikan bahwa itu adalah
hembusan yang terakhir yang terbuang, sebelum mematikan mesin. Tante
mala dan Tante Marissa pulang !
![]() |
Cerita Dewasa Main Serong Dengan Tante |
Kuarahkan kakiku kearah ruang depan dengan cepat, membukakan pintu
yang tadi aku kunci, beruntung aku masih terbangun, seandainya pintu
dalam keadaan terkunci seperti ini dan aku pulas dikamar dengan Moza,
situasi bisa kacau, bukan tidak mungkin perempuan itu yang terbangun
lebih dahulu dan membukakan pintu dalam keadaan bajunya yang berantakan,
mungkin akan menjadi bahan pertanyaan bagi sang Mama dan Sang Tante dan
mungkin yang lebih parah lagi adalah akan membuat amarah Moza
tersulut.. ngeri ah ngebayanginnya !
“Hai Fan, belom tidur?” seru Tante Marissa, saat melihatku membukakan pintu untuknya,
hmmmm, sepertinya tercium hembusan napas yang beraroma minuman keras
dari mulutnya, kulihat ia berjalan melewatiku terburu-buru, aku
memandangnya wajahnya sekilas dan menjawabnya,
“Belum Tan, belum ngantuk nih” kataku sekenanya, dan sepertinya beliau tak menunggu jawabanku,
“Fan, liat tuh Tante Mala, tolong bantuin dia gih “ kata Tante Marissa lagi, sambil menunjuk kebelakangnya dan kemudian berusaha meneruskan langkahnya tanpa menunggu reaksiku.
“Fan, liat tuh Tante Mala, tolong bantuin dia gih “ kata Tante Marissa lagi, sambil menunjuk kebelakangnya dan kemudian berusaha meneruskan langkahnya tanpa menunggu reaksiku.
Aku melihat memalingkan mukaku kearah yang ditunjuknya, dan kulihat
disana, ke arah mobil, tante Mala tampak duduk dikursi depan, pintu
mobil terbuka namun beliau kelihatan masih duduk, berusaha dengan susah
payah untuk turun dari mobil.
Aku melihat ke arah Tante Marissa seolah hendak menanyakan ada apa
dengan Tante Mala. Dan sebelum aku keluar kata-kata dari mulutku, Tante
Marissa melanjutkan perkataannya,
“Hihihihihihi, lagian gak biasa minum, pake ikut-ikutan minum, ya begitu deh “ kata tante Marissa sambil cekikikan,
“Aduh tante kebelet nih, pengen pipis “ dan selanjutnya beliau melanjutkan langkahnya dengan tergesa-gesa.
“Aduh tante kebelet nih, pengen pipis “ dan selanjutnya beliau melanjutkan langkahnya dengan tergesa-gesa.
Aku segera keluar menghampiri mobil di depan, kulihat Tante Mala,
tampak memejamkan matanya, entah tertidur atau tidak, namun dengan
perlahan aku meraih tangan beliau, menggamitnya, menarik keluar tubuh
beliau, kulihat mata beliau terbuka, tersenyum seakan senang melihat
kedatanganku, tersungging senyuman dari bibirnya,
“Hai Fan “ hanya itu saja kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Pasrah, tak ada gerakan meronta atau melawan, ketika aku menarik
tubuhnya, menaruh lengannya dibahuku, memapahnya menuju ruang dalam.
Entah sadar atau tidak, tante Mala menurut saja, dari mulutnya
terdengar kata-kata meracau yang aku tidak mengerti, pikiranku hanya
terfokus pada membawanya ke dalam rumah, entah sepertinya saat ini aku
tidak memikirkan hal yang lain, walaupun kurasakan payudara Tante Mala
menempel ketat pada badanku, mungkin kalo saja dilain kesempatan, itu
merupakan hal yang selalu kuinginkan, membopongnya, mengambil kesempatan
sambil meremas-remasnya, namun saat ini hal tersebut kubuang jauh-jauh
dari pikiranku.
“Mabok bae… mabok bae….”jah kayak lagu aja, makanya bu, kalo mo mabok liat-liat dulu, untung ada
Tante Marissa, coba kalo sendiri, mungkin dalam keadaan tidak
sadarkan diri seperti ini, dan melihat pakaian yang dikenakannya, akan
mengundang kaum adam untuk menyentuhnya, duh bisa diapa2in nih Tante,
bisa-bisa diperkosa asal-asalan, hehehe..
Lagian apaan sih yang diminum ? Chivas, Vodka, Martini, Scotch, Apa
Tomi, alias topi Miring ? kalo yang minum ini katanya topinya musti
dimiringin biar keliatan jalannya lurus, yee walaupun gw orang kampung,
gue juga tau nama-nama minuman keras, pan gw sering nonton pilem, jadi
gak gaptek-gaptek amat soal gituan, minuman.
Emang elo sekali mo mabok, minuman apaan aja dicampurin, dioplos,
mending minuman, lah kadang bukan minuman dicampurin, alkohol 70%,
kratingdaeng, spirtus (yang ini bukan minuman bro, ini biasa gw pake
buat nyalain patromak, lampu yang dipake mas kiwil buat dagang nasi
goreng !), semuanya dah masukin, biar cepet fly, sekalian aja loe
masukin, minyak tanah, obat merah, kunyit ama jahe, sekaligus buat
ngobatin korenglo ! huakakak.
Eh sekalinya dibawa ke bar, bingung, gak tau mo mesen apaan, bingung
ama nama yang aneh-aneh, takut salah, begitu ditanya mo pesen minum
apaan, maen jawab aja, “Jeniper” kali ini bartender-nya yang bingung,
perasaan dari deretan minuman sebanyak ini, gak ada deh yang namanya
Jeniper, lah iyalah, jeniper yang dimaksud ‘kan “Jeruk Nipis Peres”,
xixixixi
Cerita Dewasa
| Perlahan, selangkah demi selangkah, tubuh mulus, sintal, bahenol ini
kupapah menuju kamar, kamar tengah yang kosong, yang sebelumnya
ditempati olehnya dan Moza. Kuletakkan tubuhnya di pinggir ranjang,
mendudukkannya, kemudian merebahkannya, aku angkat kakinya, dan
menaikkannya keatas.
Entah sepatunya terlepas dimana, yang jelas saat itu kakinya yang
telanjang, dengan betis jenjang, kusejajarkan dengan tubuhnya yang sudah
terbaring. Ada rasa aneh menghinggapi dadaku, mengingat kejadian malam
dahulu, ketika tubuh mulus yang dimiliki wanita cantik ini menggoda
imanku. Teringat akan kejadian dimana aku menikmati tubuh indah ini,
melepaskan hasrat birahiku, menyentuh bagian-bagian yang selama ini
tertutup dan menikmatinya.
Segera aku lepas bayang-bayang itu, membuangnya jauh-jauh, aku
teringat akan wanita yang saat ini tidur dikamarku, Moza, ya, hanya
wanita itulah saat ini yang ada dibenakku, hanya ada satu pilihan yang
harus aku pilih, anaknya atau mamanya !
Aku melangkah keluar, meninggalkan Tante Mala tergolek sendiri
dikamar, sesampai dipintu kulirik sekilas kearah ranjang dimana dia
berada, betis jenjang dengan paha mulus dan putih layaknya Ken Dedes,
membuat sedikit gejolak di dadaku, seandainya pikiran kotor masih
memenuhi benakku, seandainya Moza tidak tidur dikamarku, seandainya
hasrat birahiku yang tadi bergelora belum tertumpahkan dan seandainya
Tante Marissa tidak ada disini atau sudah tenggelam dalam tidur
nyenyaknya, mungkin ceritanya akan lain.
Dengan posisi, seperti itu, terlihat beliau tampaknya setengah sadar,
mungkin akibat rasa pusing menderanya, sehingga, begitu tadi kuletakkan
dan kubaringkan, dan sepertinya beliau langsung mencari posisi yang
enak, berbalik, membuat pakaian bawahnya tersingkap hingga kebatas paha
meperlihatkan celana dalamnya, serta mungkin tanpa disadarinya saat ia
berbalik, membuat tali pakaian yang menyangga dipundaknya melorot, dan
itu yang membuatku terhenyak, bagaimana tidak, hal tersebut membuat
bagian atas bajunya melorot sebagian dan memperlihatkan buah dadanya
yang mungkin semenjak tadi merasa sesak berada didalam baju yang
dikenakannya dan itu sempat membuatku sedikit mupeng.
Kutinggalkan beliau, kututup pintu kamar rapat-rapat, dipikiranku
terlintas, seandainya beliau terbangun dan kemudian bermaksud ke kamar
kecil atau apalah yang membuat dia keluar kamar, tentu pintu kamar akan
berbunyi ketika dibuka, dan itu cukup untuk membuatku bersiaga, ya
minimal bila aku sedang “mengerjakan” sesuatu lagi terhadap Moza, aku
bisa dengan cepat menutupinya… hehehe.. dasar !.
Lah iya dong, coba aja bayangin, seandainya dengan pintu yang tidak
dikunci seperti tadi, melihat aku sedang khusyu dan serius, tiba-tiba
dari pintu nongol Tante Mala, yang ada urusan bisa runyam, celaka !,
bisa-bisa tengah malam aku dimaki-maki, diomelin, kaya tetanggaku dulu,
diomelin ama bininya gara-gara pulang pagi, disangka ngapelin cewek RT
sebelah. Baru sampe pintu, prang-prang, dilempar piring, besoknya
dicengirin sama temen tongkrongan katanya
“dirumah elu semalem ada UFO ya ?” alias piring terbang, xixixixixixixixixixi.
Ya sapa yang mau coba ?, kalo kaya gini kan minimal, begitu bunyi
“krek”, artinya pintu kamar sebelah dibuka, aku bisa cepat-cepat narik
celana, nutupin si dede atau minimal nutupin pake selimut, terus
pura-pura tidur deh, sembari dingorok-ngorokin dikit, hehehe…aman.
Cerita Dewasa
| Mulanya aku hendak kembali ke kamar tidurku, namun langkahku
terhenti, sejenak seperti ada yang menahan langkahku, ya, terlintas
dipikiranku bahwa ada seseorang dirumah ini, yang mungkin masih dalam
keadaan sadar, Tante Marissa !, ya beliau memang kelihatannya belum
tidur, bukankah barusan, sewaktu pulang, beliau langsung masuk kamarnya
dan sepertinya beliau buru-buru langsung menuju kamar mandi yang berada
didalam kamarnya. Dan satu lagi yang kuingat bahwa aku belum menutup
pintu depan, saat membawa Tante Mala tadi, karena mungkin aku terfokus
pada beban yang aku bawa sehingga aku tak sempat menutupnya.
Aku berbalik, melangkah kearah depan, menuju ruang tamu, bermaksud
untuk menutup pintu dan sekaligus memeriksa bahwa keadaan aman, walaupun
mungkin didepan sudah ada mang Dharta yang menjaga, tapi tetap saja
kita harus menjaga segala kemungkinan kan ?. Beberapa langkah di depan,
sebelah kiri, kulihat pintu kamar Tante Marissa terbuka sedikit, dan
lampu masih menyala terang. Kulangkahkan kakiku, dan memang bila aku
hendak ke ruang tamu disana, mau tak mau aku melewati kamarnya, dan
sepertinya ada sesuatu yang mengarahkanku untuk menoleh kearah kamar
Tante Marissa, langkahku yang tadinya cepat, seakan ada tembok didepanku
yang menyuruhku untuk berhenti.
Kulihat di dalam kamar, Tampak Tante Marissa sedang menggunakan
handuk, beliau sepertinya baru selesai membersihkan diri, atau mungkin
beliau habis mandi, duh, diudara sedingin ini, mungkin kalo aku,
jangankan mandi, cuci muka aja mungkin aku akan beku kedinginan, tapi
kalo beliau, ya mungkin udara sedingin ini sudah biasa, karena di negara
yang sekarang dia tinggali suhu udaranya lebih dari ini.
Keluar kamar, aku menuju ruang keluarga, melewati kamar Tante
Marissa, pintu kamar terbuka sebagian, seperti instink saja, kepalaku
menoleh ke arah dalam, dan upss..!
Di dalam kamar kulihat Tante Marissa tampaknya sedang mengganti
pakaiannya, duh sepertinya beliau cuek saja, pintu tidak ditutup.
Kulihat beliau sedang menanggalkan handuk, melemparkannya ke atas
ranjang, mungkin beliau habis membersihkan diri dari kamar mandi,
biasalah wanita, sebelum tidur biasanya membersihkan sisa make-up yang
menempel diwajahnya, mandi ? masa sih ? kalo aku disuruh mandi tengah
malam dingin dingin begini abis hujan, dibayar berapa juga aku masih
mikir, tapi gak tau kalau beliau, mungkin udara seperti ini di negaranya
sana dibilang panas kali.
Tapi yang jelas, yang membuatku tercekat adalah, saat ini beliau
seperti mematut-matut diri didepan kaca, dan tanpa mengenakan sehelai
benangpun !. padahalkan ada lelaki dirumah ini, mana udah tengah malam
lagi, udara dingin begini, bikin yang melihat jadi mupeng ! tak enak
rasanya kalo aku terlihat berdiri melongo didepan kamarnya, bisa-bisa si
dede yang sekarang udah lemes tak bertenaga, beringas kembali, gak ah,
mendingan aku pergi. Aku menuju ruang keluarga, dimana kulihat televisi
menyala, mungkin karena tadi tidak dimatikan dan saat listrik hidup
kembali, otomatis televisi juga hidup.
Cerita Dewasa Tante Marissa
Cerita Dewasa Tante Marissa
Aku duduk disofa, namun rasanya sofa berlapis seperti kulit yang aku duduki ini, sangat dingin, mungkin karena pengaruh suhu udara, sehingga aku memutuskan untuk menurunkan tubuhku, dan duduk di karpet tebal, kemudian merebahkan badan, mengusir rasa dingin dengan meringkukkan badanku, menutupinya dengan bantal besar yang ada, dan menatap acara televisi didepan.
Mataku memang mengarah ke televisi, namun aku tak menyimak acara yang
ditayangkan, pikiranku jadi melayang entah kemana, membayangkan tubuh
Moza, Tante Mala yang sedang mabuk, serta Tante Marissa yang berbugil
ria dikamar, pikiran kotor kembali menerjangku, sepertinya saat ini aku
bagaikan raja minyak, yang bingung untuk memilih wanita mana yang hendak
kujadikan sebagai teman tidurku malam ini.
Memikirkan itu malah membuat dedeku yang tadinya sudah lemas
terkantuk-kantuk, ditambah hawa dingin yang menyengat membuatnya menjadi
segar dan menegang kembali, duh… beberapa saat lamanya aku
membayangkan, membayangkan bagaimana jika aku dikerubuti oleh para
wanita ini, membayangkan bila mereka semua tidur satu kamar denganku,
memperebutkanku, 4some, saling meminta untuk aku puasi, hehehehe, dan
lamunanku sepertinya buyar, ketika…..
“Loh gak tidur Fan ?” terkaget aku mendengar suara dibelakangku,
cepat aku menarik tanganku yang sedang berada didalam celanaku,
untunglah saat itu bagian bawahku ditutupi oleh bantal besar yang tadi
kupakai sebagai penghangat.
Aku menengok kearah sumber suara, kulihat Tante Marissa, sudah
berdiri beberapa langkah disampingku, melihat kearahku, menatapku ramah.
“eh Tan, belum nih Tan, belum ngantuk, ini mata belom mau dirapetin,
mungkin tadi gara-gara tidur siang kelamaan kali” kataku menjawabnya,
sambil menggeser badanku, yang tadinya rebah, kini berusaha bangun dan
duduk, tak enak rasanya berbicara dengan orang yang lebih tua, sambil
tidur.
Kulakukan untuk menghormatinya, padahal saat itu aku juga agak
tercengang melihat Tante Marissa, yang hanya mengenakan baju tipis,
malah dapat kubilang transparan. dengan bagian dadanya yang besar tanpa
bra, seperti tercetak dengan jelas, putingnya yang kecoklat-coklatan,
bisa dibilang beliau saat ini setengah telanjang, sepertinya hawa dingin
bukan masalah baginya.
Ruangan keluarga yang hanya diterangi oleh lampu dinding yang hanya
memancarkan sinar temaram, sepertinya tidak mampu untuk menutupi
kemolekan tubuh Tante Marissa, duh seandainya lampu tengah yang menyala
mungkin seluruh tubuh tante Marissa akan terlihat jelas, sayang sekali,
sayang seribu sayang.
Kupikir dia menyapaku hanya sebatas say hello saja, kemudian
meninggalkanku memasuki kamarnya, untuk tidur, namun ternyata tidak,
beliau melangkah mendekatiku, kulirik beliau dengan sudut mataku, repot
nih, jangan sampe dia menghampiriku, kemudian duduk disampingku, terus
merayuku, kemudian mengajakku untuk melakukan ritual seks, membuat
terkapar, setelah melampiaskan hasrat kami berdua, yeeee ngarep.
Dan sayang seribu sayang saudara-saudara, beliau ternyata duduk disofa, hehehe…buyar deh angan-anganku tadi !.
Dan sayang seribu sayang saudara-saudara, beliau ternyata duduk disofa, hehehe…buyar deh angan-anganku tadi !.
Aku yang duduk dibawah menggeser maju ke depan, gak enak rasanya
dibelakangku, disamping sebelah kiriku duduk wanita cantik, sementara
aku cuek didepannya, menghadap ke depan, ke arah televisi, seakan tak
perduli ada Tanteku yang mungkin ingin bertatap muka denganku, bukankah
selama ini aku belum pernah mengobrol dengannya ? maksudku mengobrol
berdua saja dengannya, biasanya aku selalu mengobrol atau bercakap-cakap
dengannya, dan pasti disitu ada orang lain lagi, entah Moza, Tante
Mala, atau Mang Dharta. Sebetulnya bukan hanya itu juga, tapi kan
sewaktu beliau duduk kemudian seperti hendak berbaring, beliau
mengangkat kakinya, lah sapa yang mau, dengkulnya nyeruduk kepalaku,
bisa-bisa puyeng kepalaku, kesamber dengkul, ya mendingan aku geser…
he..! dan ….
Benar saja, malam itu aku bercakap-cakap dengan Tante Marissa, mulai
dari acara yang didatanginya barusan, keluargaku, pekerjaanku, keluarga
Tante Mala, anak-anaknya hingga persoalan-persoalan kecil, menyangkut
kehidupan keluarga besar kami, setelah beliau tinggalkan ke luar negeri,
malam semakin larut, mungkin karena bahan pembicaraan telah habis,
ataupun pikiran kami blank sehingga mentok untuk memulai bahan
pembicaran lain, terdiam kami berdua sesaat, hingga akhirnya mata kami
hanya memandang kepada acara televisi, dan tanpa sengaja, ketika acara
televisi mensensor adegan ciuman, beliau membandingkannya dengan acara
televisi dinegara dimana dia menetap.
Pembicaraanpun berlanjut lagi, hingga masalah seks dinegara dimana
dia tinggal, mulai dari kehidupan remaja disana, dimana ia menghabiskan
masa mudanya, perilaku seks mereka, hingga ke anak-anaknya yang katanya
untung karena anak 2 dan laki-laki semua, beda dengan Tante Mala yang
anaknya perempuan semua, hehehe…kalo disana punya anak perempuan dan
umur diatas 15 wuih, bisa was-was melulu, ya ngertilah..
Cerita Dewasa
| Entahlah sepertinya beliau sangat memahami permasalahan seputar seks,
malah kalo boleh kutebak sepertinya beliau benar-benar sudah tidak
indonesiani lagi ..,ya seperti menganut semacam faham seks bebas
mungkin, namun katanya selama dilakukan secara aman, oleh dua insan yang
saling menyukai, why not ?, begitulah kesimpulan yang kudapat dari
pembicaraan dengannya. Dan satu lagi, kalo aku berbicara dengannya dan
tanpa sengaja menatap kearahnya maka, kepala atas dan kepala bawahku
semakin pusing ! hehehehe…
Beberapa saat percakapan berlanjut, malam semakin dingin, kulihat
Tante Marissa sepertinya tidak merasakan dingin sedikitpun, mungkin
karena terbiasa atau pengaruh minuman yang diminumnya tadi membuatnya
tetap hangat, terlihat dari rona mukanya yang rada memerah, namun yang
membuat aku heran adalah, sepertinya ia tidak ada tanda-tanda mengantuk
sama sekali, malah kulihat dari mulutnya keluar kata-kata yang semakin
lancar saja, hingga, aku memutuskan untuk merebahkan diri, dengan bantal
besar satu-satunya yang ada diruangan ini, menyandarkan kepalaku
diatasnya.
“Dingin Fan ?” katanya kepadaku, mungkin karena melihatku merapatkan
kedua tangan lantas mengepitnya dengan pahaku, padahal memang selain
untuk mengusir hawa dingin, sekalian juga untuk menutupi dedeku yang
kelihatan semakin membesar, ya maklumlah, sapa juga yang kuat melihat
lawan bicara seperti dia, udah cantik, seksi, molegh, dan dengan
pakaiannya yang mengundang selera, duh seandainya dia …, mungkin sudah
kuserang sedari tadi.
“Iya tan, lumayan nih !” jawabku sambil mataku menatap sekilas kepadanya, dan kemudian kembali mengarahkannya kepada acara televisi didepan, tak enak rasanya memandang terus kepadanya, bisa-bisa nanti aku dikiranya napsu melihat dia, padahal sih…. Iya…!
Dan tanpa kuduga, tante Marissa yang semula dalam posisi rebah dengan
kakinya berada didekatku, dan kepalanya berada diujung sebelah sana,
mengangkat badannya, bangun, yaaah, ada beberapa pikiran yang saat itu
langsung menyelinap di otakku, ia bangun mungkin rasa dingin juga
menyergapinya, sehingga ia bermaksud menyudahi percakapan kami dan
bermaksud untuk masuk ke kamar, kedua mungkin ia merasa pegal karena
dalam posisinya dengan kepala diujung sana, ia akan mudah melihat
kepadaku saat bercakap-cakap, namun pada saat matanya mengarah ke
televisi, maka membuat kepalanya harus menengok ke kiri, dan itu
membuatnya pegal, sehingga ia harus bangun dan berganti posisi dengan
kepalanya berada disebelahku, sehingga kali ini kalau mau pegal lagi
maka kepalanya harus menengok ke kanan terus, hehehe..
Duh sepertinya sayang sekali kalau ia harus kembali ke kamar, padahal
aku mengharapkan dia agar tertidur pulas disitu, disofa panjang itu,
jadi kan kalo tiba-tiba ada acara televisi yang kiranya dapat
membangkitkan rasa hornyku, mungkin, beliau dapat kujadikan sebagai
bahan coli juga… hehehe, dan kalo ia berbalik, rasanya juga sedikit
disayangkan, pandangan yang sedari tadi aku nikmati, saat menoleh
kearahnya. Dalam cahaya ruang yang remang-remang seperti ini, sehingga
bola mataku tak terdeteksi ke arah mana aku memandang, sehingga aku bisa
dengan puas melihat kearah paha putih, panjang dan mulus itu, berikut
isi-nya.
Dan ternyata perkiraanku semuanya salah……
Tante Marissa, dengan bertumpu pada telapak tangannya kini malah
memerosotkan badannya, menjatuhkannya ke karpet dibawahnya, kini
posisinya lebih dekat kepadaku, dan dengan duduk seperti itu posisi
kepalanya tidak terlalu jauh denganku sehingga mungkin enak buat kami
untuk melanjutkan percakapan tanda salah satu harus ada yang mendongak
dan menunduk pada saat memandang. Namun ternyata keterkejutanku belum
cukup sampai disini….!
Berada kurang lebih satu langkah disebelahku, beliau kini menggeser
tubuhnya beringsut dan bergerak menghampiriku, mencari posisi pantatnya
agar sejajar dengan posisi pantatku, mungkin ia hendak mengukur jarak
antara tubuhnya dengan posisi bantalku, ia yang semula dalam posisi
duduk kini merebahkan tubuhnya, merapat denganku, ikut menempelkan
kepalanya pada bantal besar yang aku gunakan. Kaget aku karena tidak
menyadari akan tindakannya dan secara reflek aku menggeser tubuhku,
berusaha menjauh, namun sepertinya gerakan yang aku lakukan dianggapnya
bukan untuk menjauhinya, tapi seolah mempersilahkannya, memberi ruang
baginya untuk berbagi bantal dengannya !.
Terdiam aku beberapa saat, bingung harus melakukan apa, kalau aku
saat ini bangun dan pindah, kemudian bermaksud kembali ke kamar,
tentunya akan membuatku tak enak, ini mungkin akan menyinggungnya, ya
iyalah, dia mungkin ingin aku terus bercakap-cakap dengannya kemudian
mendekatiku dan aku malah meninggalkannya, gak enaklah, emang aku pergi
karena merasa gak nyaman dekat dengannya, emang tante Marissa badannya
bau ?, atau napasnya bau ?
Sementara mataku tetap mengarah ke televisi, punggungku merasakan ada
sesuatu yang menempel, lengan bahu Tante Marissa, aku melihatnya
sekilas dengan ujung mataku, sepertinya kurasakan Tante Marissa juga
menatapku, seperti sedang memperhatikan seluruh tubuhku. Bingung aku,
otak ini rasanya seperti blank, tak tahu apa yang harus kulakukan.
“Fan, kamu teh umur berapa sih ?” tanya Tante Marissa,
mungkin ini dilakukannya untuk memecah kesunyian, memang tak enak rasanya bila berdua-duaan tapi tak ada komunikasi sama sekali,
“23 Tan, hehehe… udah tua ya ” kataku menjawabnya sekaligus
memberikan pernyataan dan pertanyaan yang kukira dapat memancing
percakapan lebih jauh.
“Ya Belum Atuh, Ngora Keneh” sahutnya lagi, maksudnya masih muda dalam bahasa sunda, biasalah dikeluarga kami, bahasa selalu dicampur adukkan, kadang bahasa indonesia campur sunda, kadang bahasa sunda campur indonesia, lah kok bukannnya sama aja ? hehe..yang jelas bukan bahasa sunda campur bahasa sunda, kalo itu mah sunda murni, hehehe…
“Eh Fan, ari kamu teh pernah ML belum ?” tanya Tante Marissa, yang jelas membuatku tersentak kaget, dan entah aku harus menjawabnya bagaimana, mungkin karena rasa terkejutku,
“Ya Belum Atuh, Ngora Keneh” sahutnya lagi, maksudnya masih muda dalam bahasa sunda, biasalah dikeluarga kami, bahasa selalu dicampur adukkan, kadang bahasa indonesia campur sunda, kadang bahasa sunda campur indonesia, lah kok bukannnya sama aja ? hehe..yang jelas bukan bahasa sunda campur bahasa sunda, kalo itu mah sunda murni, hehehe…
“Eh Fan, ari kamu teh pernah ML belum ?” tanya Tante Marissa, yang jelas membuatku tersentak kaget, dan entah aku harus menjawabnya bagaimana, mungkin karena rasa terkejutku,
aku membalikan badanku yang semula membelakanginya, kini terlentang,
sejajar dengannya, dan tanpa sengaja sikutku menyentuh payudaranya,
rasanya benda lunak itu, terasa kenyal dan kencang, kucoba untuk
berpura-pura tak menyadarinya, dan berkata “Ih Tante, ada-ada aja
nanyanya !” sahutku sambil pura-pura terkekeh.
“Halah… jangan bohong deh ma Tante, kamu udah belum ?” cecarnya
kepadaku sambil senyam-senyum, “eh, tapi disini kan beda ya sama disana “
tukasnya lagi, maksudnya di indonesia, ya iyalah beda, masa sama,
disini tau sendiri, ya kan ?, capek deh kalo musti gw jelasin, mending
loe tanya aja ma pak RTloe sono !.
“Duh kasian banget tuh si Dede udah 23 taon masih dipake buat kencing doang !, hahahaha”, aku gak menjawabnya, hanya berkata dalam hati,
“duh sialan nih tante”, sambil garuk-garuk gak gatal aku jadi berpikir lagi,
“Duh kasian banget tuh si Dede udah 23 taon masih dipake buat kencing doang !, hahahaha”, aku gak menjawabnya, hanya berkata dalam hati,
“duh sialan nih tante”, sambil garuk-garuk gak gatal aku jadi berpikir lagi,
“Udah belom ya ?” pikiranku jadi menerawang, ingat kejadian-kejadian
dahulu, kalo aku ingat peristiwa aku dengan Tante Sandra, Tante Mala,
apakah itu dihitung ML ? kan mereka semuanya dalam keadaan tidak sadar,
jadi aku melakukannya hanya satu arah, gak bidirectional, jadi dihitung
gak nih ?, terus waktu dengan Ira temannya Maya, sepertinya aku gak
menikmatinya, wong keliatannya juga si Ira ama Nita lagi teler, gimana ?
dihitung gak ?, gak deh.. gak usah dihitung, ntar malah kena pajak lagi
!
“Eh, tapi kan kalau self service kamu pernah kan ? hayoo !” yah, dia
ngeledek aku, jelaslah, masa coli gak pernah sih, malah kalo
dihitung-hitung, mungkin kalkulator udah gak cukup kali digitnya..
heheheh.. aku bingung harus ngomong apa, yang ada jadi blingsatan
sendiri, aku cuma senyum and cengengesan aja, mungkin karena sunyinya,
jadi cengengesanku terdengar jelas olehnya, sehingga rasanya itu cukup
menjawab pertanyaannya bahwa hal itu pernah atau malah sering aku
lakukan.
“Tuh kan… yee… cengengesan, berarti iya !“ sahutnya tergelak, serasa memperoleh kemenangan.
“Eh Fan, kamu kalo self service gitu, apa yang kamu bayangin ?” sahutnya lagi,
“Eh Fan, kamu kalo self service gitu, apa yang kamu bayangin ?” sahutnya lagi,
“Tante gak pernah tuh, jadi tante gak tau, ya cuma yang tante tau,
sebagian besar kaum laki-laki tuh suka melakukan masturbasi ya?, trus
kalau kamu sendiri apa yang kamu bayangin ?“ katanya lagi, kalo kulihat
membicarakan tentang seks menurut beliau adalah hal yang wajar, mungkin
karena beliau sudah lama tinggal di luar negeri sana, jadi sepertinya
membicarakan perihal seks adalah seperti membicarakan bumbu masakan
saja.
“Ya Tante, ya jelaslah bayangin perempuan, masa ngebayangin cowok !”
aku tertawa, namun jelaslah tawaku garing, susah kan ngomong ma cewek
masalah gituan, yang ada malah kitanya yang gugup.
“Ye bukan, maksud Tante, kamu ngebayanginnya gimana ?, bagian tubuh wanita yang mana yang kamu suka ? trus ngapain ? kan kalo ML jelas gak perlu bayangin apa apa… just do it !”, kata Tante marissa lagi,
“Ah tau ah Tan !” aku ngeles sambil mengangkat tanganku pura-pura menutup mataku sekaligus kupingku, serasa ingin menyudahi percakapan ini.
“Yee si Fandi, cuek aja atuh Fan, ama Tante ini, anggap aja ama temen kamu !” dan sepertinya iya tertawa, dan ia yang tadinya dalam posisi terlentang kini memiringkan badannya, menyanggah kepalanya dengan tangannya seolah ingin aku serius menanggapinya.
“Ye bukan, maksud Tante, kamu ngebayanginnya gimana ?, bagian tubuh wanita yang mana yang kamu suka ? trus ngapain ? kan kalo ML jelas gak perlu bayangin apa apa… just do it !”, kata Tante marissa lagi,
“Ah tau ah Tan !” aku ngeles sambil mengangkat tanganku pura-pura menutup mataku sekaligus kupingku, serasa ingin menyudahi percakapan ini.
“Yee si Fandi, cuek aja atuh Fan, ama Tante ini, anggap aja ama temen kamu !” dan sepertinya iya tertawa, dan ia yang tadinya dalam posisi terlentang kini memiringkan badannya, menyanggah kepalanya dengan tangannya seolah ingin aku serius menanggapinya.
Dan dengan posisi seperti itu, otomatis payudaranya yang dengan
belahannya itu kini menempel ketat dengan lengan bahuku, dan jelas itu
membuat pikiranku semakin tak menentu, membuatku semakin salah tingkah,
membuatku yang tadinya mungkin harus menjawab pertanyaan Sang Tante kini
malah balik bertanya kepadanya.
“Emang kalau tante sendiri gimana ?”, entah darimana datangnya,
mungkin karena capek aku ditanya melulu, tiba-tiba saja keluar kata-kata
itu dari mulutku,
“Gimana, gimana ? apanya yang gimana ?” jawab tanteku, yang jelas aku juga bingung sebenarnya apa sih yang ingin kukatakan atau kutanyakan, duh apaan ya ?.
“Ee….., gak, maksudnya, kalo Tante sendiri seberapa sering ML ?”, kataku lagi menjawab sekenanya,
“Ya Seringlah, Tante ama suami Tante bisa seminggu dua kali, kadang tiga kali “ sahutnya lagi, dan mungkin karena aku iseng dan entah darimana keisenganku muncul hingga aku menyahutinya lagi
“kalo dengan bukan suami ?” ujarku sambil terkekeh,
“Yee, Fandi, aya-aya wae…” namun ternyata iya malah tergelak, kukira iya marah atau apa, menurutnya mungkin pertanyaanku ini lucu dan aku merasa kalau ia tak perlu menjawabnya.
“Gimana, gimana ? apanya yang gimana ?” jawab tanteku, yang jelas aku juga bingung sebenarnya apa sih yang ingin kukatakan atau kutanyakan, duh apaan ya ?.
“Ee….., gak, maksudnya, kalo Tante sendiri seberapa sering ML ?”, kataku lagi menjawab sekenanya,
“Ya Seringlah, Tante ama suami Tante bisa seminggu dua kali, kadang tiga kali “ sahutnya lagi, dan mungkin karena aku iseng dan entah darimana keisenganku muncul hingga aku menyahutinya lagi
“kalo dengan bukan suami ?” ujarku sambil terkekeh,
“Yee, Fandi, aya-aya wae…” namun ternyata iya malah tergelak, kukira iya marah atau apa, menurutnya mungkin pertanyaanku ini lucu dan aku merasa kalau ia tak perlu menjawabnya.
Tapi…..
“Sstt.. ini rahasia yah, kamu jangan cerita-cerita ama siapa-siapa,
menurut kamu badan tante gimana Fan, bagus gak, kalo buat cowok single
kira-kira masih laku gak ? “ aku tak mengerti arah pembicaraan beliau,
namun ya iyalah, jelaslah, lah wong aku aja melotot ngeliat bodynya,
tapi maksudnya itu apa ?, Emang sih beberapa saat yang lalu aku rasanya
pernah menguping pembicaraan antar Tante Mala dan Tante Marissa, sekilas
sepertinya Tante Mala menanyakan proses perceraian gitu, tapi aku gak
tahu apakah yang dimaksud adalah proses perceraian Tante Marissa dengan
suaminya atau siapa, gak taulah.
“Emang kenapa Tan ?, emang Tante mo nyari cowok single buat apaan ?
buat maen badminton ? trus tante mo maen buat ganda campuran ?” aku
tertawa kecil, namun rasanya ia tak memperdulikan komentarku, “Yee, si
Fandi, ngabodor wae, menurut kamu gimana ?” aku terdiam sejenak,
kemudian aku memalingkan mukaku kearahnya, seakan membuktikan padanya
bahwa aku akan serius menyikapinya,
“Ya iyalah Tan, badan tante masih bagus banget kok, masih kenceng,
abis Tante kan masih sering olahraga, malah Fandi kira umur tante masih
dibawah 30 tahun”, sahutku cepat seakan-akan ingin menyenanginya,
sekilas aku melirik kearah dadanya, hanya sekilas, kulihat belahan
dadanya seolah membelah dua gunung kembar putih, indah, seandainya aku
berani menyentuhnya, mengelusnya kemudian meraba sambil menelusurinya
perlahan dan mengatakan
“Bagus banget nih Tan, putih, mulus, dan kencang kok”, kemudian aku mencoba untuk meremasnya pelan, hehe…
“Masa sih Fan ?, kamu jangan nyeneng-nyenengin tante deh, umur Tante
kan udah 36, anak Tante aja yang besar udah SMA, masa sih, segitunya
menurut kamu “, entah apa yang ada dipikiran tante Marissa, dikiranya
aku menjawabnya sekenanya saja, karena aku menjawabnya tanpa memalingkan
muka kearahnya, ya iyalah, kalo aku menjawabnya sambil berhadap-hadapan
dengannya bisa kacau, udah muka kami sangat dekat sekali, trus
pakaiannya yang jelas mengundang selera, kemudian dedeku tiba-tiba
bangun dan membuat celanaku menonjol keluar, ini aja udah aku tahan, kan
bisa berabe !.
“Iya Taaan, serius, bener, saya gak bohong” sahutku lagi, dan kali ini aku menimpalinya tanpa menengok kearahnya.
“Fan, serius…” tiba-tiba saja, tangannya menarik tubuhku, membuat badanku berbalik, dan ini yang aku takutkan, kini mukaku menghadapnya, dan mau gak mau pandanganku kini mengarah ke mukanya !, “Apanya sih Tan ?, serius, bener, Tante kalo Fandi bilang sih, masihlah, masih kenceng, bahenol “ kataku sambil senyum, padahal pikiranku jadi agak error, apalagi waktu melihat kearah buah dadanya, yang sepertinya hendak meloncat keluar.
Dan mungkin karena melihat sorot mataku yang mengarah ke buah
dadanya, ia mengangkat tangannya dan menggerakkannya kearah dadanya,
seakan ingin menutupinya. Jelas ini membuatku agak malu, membuat
kepalaku tertunduk, mungkin kalo dilihat pada cahaya yang terang, ada
rona merah diwajahku. Tapi ternyata selanjutnya malah membuatku semakin
terkejut, tante Marissa malah menarik bagian atas bajunhya,
memelorotkannya ke bawah hingga bagian pakaian yang menutupi dadanya
kini telah membuka dengan lebar !.
Sejenak ia memegang putingnya, tampaknya bagian atas payudaranya itu
telah menegang den mengeras !, mungkin ia menyadari bahwa ada yang salah
dengan putingnya, mungkin karena pengaruh pembicaraan kami atau
pengaruh minuman yang diminumnya, atau hawa dingin yang menerpanya
hingga membuat putingnya mengeras.
Kini menyembullah, dua bukit kembar, besar dan putih itu, dengan
bentuknya yang bulat, proporsional, jelas sungguh indah dipandang, dan
malah seperti magnet yang membuat tangan lelaki, tertarik ingin
memegangnya dan bahkan mungkin ingin meremas-remasnya, dan kalo bisa
menyedotnya sampai kempes… hehehe.. emang balon isi aer !.. xixixixi..
Entah apa yang ada dipikiranku, dengan jarak sedekat ini, kalaupun
aku ingin menyentuhnya, tanganku malah tak perlu menjulurkannya, ini aku
malah harus menekukkan sikutku. Bingung apa yang harus aku lakukan,
kalo aku memegangnya, jangan2 aku malah ditamparnya, padahal duh..
pengen sekali aku menjamahnya…. hiks.!
“Fan, gimana menurut kamu, dada tante masih bagus kan ?” katanya
kemudian, dalam kebingunganku harus berkata apa, dan membuatku seperti
merinding,
“Masih kencang kan Fan ?” aku tak memberi jawaban apa-apa, seolah
mulutku terkunci, tak tahu harus mengatakan apa, mulutku hanya mampu
terbuka, melongo, dan kemudian tangannya membuat gerakan, meraba-raba,
mengelus-ngelus payudaranya, menelusuri permukaan dadanya dengan tiga
jari yang berada ditengahnya, dengan lembut, ya mungkin adegan seperti
ini hanya dapat kusaksikan di filem-filem blue yang suka kupinjam dari
temanku semasa SMAku dulu, tapi yang kulihat kini adalah liveshow,
didepanku, hanya berjarak beberapa centimeter dari mataku saja.
“I..I…Iya Tan, ba…ba…bagus banget, kayaknya masih kenceng“ dengan
tersendat aku menjawabnya, dan entah kenapa, suaraku sepertinya sedikit
parau, seperti lama tak kena air, ya iyalah, pemandangan didepanku ini
membuatku serasa ingin menelan ludah.
Dan di dadaku sepertinya jantungku berdegup dengan kencang dan cepat !.
“Kok kayaknya sih, gimana ? masih bagus gak ? jujur dong ah, biar
tante tau gimana pandangan lelaki, saat melihat dada Tante, Fan “ ia
menghentikan gerakannya, sepertinya ia menatapku, sesaat, menatap bola
mataku, sesaat bola mata kami beradu pandang, tak kuat aku menatapnya
lebih lama, kualihkan pandangan mataku kearah yang lain.
Sulit aku menjawabnya, sepertinya ia memperlihatkan payudaranya
kepada laki-laki adalah hal yang biasa, dan nampaknya kupikir ia hanya
sekedar ingin memperlihatkannya padaku sesaat saja, kemudian dengan
segera menarik kembali bajunya, menutupinya dengan segera, namun yang
terjadi malah ia semakin memainkan payudaranya tersebut, merabanya,
mengelus-elusnya, meremas-remasnya dan kini ia memainkan putingnya,
memilin-milinnya, memencetnya, dan membuat puting itu kini semakin
tegang dan mengeras, sementara aku hanya sanggup memelototinya,
tertegun, hingga kulihat pada raut mukanya yang menatapku, tersungging
senyuman, senyuman yang menurutku agak gimana gitu, entah senyuman yang
dilakukan untuk merayuku atau ada maksud lain didalamnya.
Tiba-tiba saja dengan ujung dengkul kakinya ia membuat gerakan….,
menyongsongkannya ke depan, meraba dengan dengkul dan betisnya, tanpa
kusadar, menyentuh celanaku, seakan tahu dimana letak dedeku, yang sejak
tadi telah terusik dari bangunnya.
“Ups…Halah..Si Fandi, ternyata kamu gak tahan juga, hihihi.. punya
kamu udah bangun tuh ya ?, jangan – jangan dari tadi !” tante Marissa
terkekeh, duh untung suaranya tertawanya pelan, seandainya ngakak
kencang mungkin akan membuat tante Mala, dan Moza terbangun, dan ini
akan membuatku malu, jika saja mereka tahu bahwa aku sedang dikerjain
oleh Tante Marissa.
Dengan reflek aku membalikkan badanku, membelakanginya, berusaha
menutupi celanaku yang memang ternyata semakin menonjol, Sialan, batinku
memaki dalam hati, sambil aku menggaruk-garuk perlahan kepalaku yang
tidak gatal.
“Ah Tante, ya iyalah Tan, berarti aku kan masih normal”, kataku
menjawabnya sekenanya, ya mau gimana lagi, lah aku kan jengah juga, aku
yang tadinya biasa-biasa saja, diperlihatkan sesuatu yang membuat gairah
lelakiku bangkit, kemudian ternyata aku hanya dipermainkannya jelas aja
langsung membuatku ngedrop, mungkin kalo cahaya ruangan terang
benderang akan terlihat mukaku yang memerah menahan malu, walaupun tidak
langsung membuat dedeku lemas kembali, namun yang jelas dedeku yang
semula sangat tegang, kini dipaksa untuk santai.
Dalam posisi aku membelakanginya, dari gerakannya kubayangkan
sepertinya Tante Marissa, membetulkan kembali pakaiannya, mengangkat
tangannya, menutupi kembali dadanya, karena kurasakan lengannya
menyentuh punggungku, saat menariknya dari atas kemudian menurunkan
lengannya, meletakkannya dibawah disamping tubuhnya. Namun, kembali aku
dikejutkan olehnya, tiba-tiba saja ia membalikkan badannya yang semula
terlentang, membalik kekanan menghadap kearahku, dan tangan kirinya kini
melewati badanku melewati pinggangku dan memelukku dengan kencang,
serta tangannya kini mencoba untuk meraih celanaku di bagian depan !.
“Eleuh… normal nih yaa, masa sih ?, coba sini, tante pengen tau“
terkaget aku, dan yang jelas sulit bagi aku karena prosesnya begitu
sangat cepat, untuk menghindarinya, aku harus memajukan badanku, namun
sangat sulit bagiku, pada saat ini posisiku yang miring, membuat bahu
dan lenganku tertindih oleh badanku, dan satu-satunya cara untuk
menghindari sergapannya adalah aku harus berguling ke depan, namun jelas
itu tidaklah mungkin karena didepanku, saat ini terdapat kursi yang
menghalangiku untuk melakukan putaran badan.
Kalaupun itu terpaksa kulakukan maka resiko yang kuhadapi adalah
badanku akan beradu dengan kursi itu, malah mungkin akan membuatku
cedera, belum lagi mungkin akan membuat kursi tersebut terpental, hingga
bukan tidak mungkin akan menimbulkan kegaduhan yang akan membuat seisi
rumah terbangun !.
Celaka, kini bukan itu lagi yang aku pikirkan, telapak tangan Tante
Marissa tepat bersarang di celanaku bagian dalam, merengkuhnya seperti
layaknya tangan macan yang mencengkeram mangsanya, ada rasa sedikit
sakit, yang kualami, sepertinya dedeku dicengkeram dan ditarik dengan
ganas, aku memegang atas lengannya dengan tangan kiriku, berusaha
menarik tangannya agar terlepas dari dedeku, dan mungkin karena sedikit
bercampur kaget, dan aku menyadari kalau aku teriak mungkin malah akan
membangunkan seisi rumah, hingga aku hanya bisa terpekik perlahan, dan
dengan suara tertahan disertai rengekan kecil aku hanya bisa bilang
“Aduh, Jangan Tante… Jangan…” aku mencoba untuk mencegahnya.
Namun akibatnya malah fatal, tangan kiriku yang menyentak, menarik
tangan tante Marissa, malah membuat dedeku semakin tertarik dan
membuatku merasa semakin sakit, bagaimana tidak cengkeraman Tante
Marissa tidak hanya mencengkeram batang kemaluanku namun hingga kebuah
zakarnya, auccchhh !. perutku serasa sakit, membuatnya serasa
terpelintir, aku menjadi lemas, hingga sepertinya tak ada tenaga lagi
buatku untuk melakukan perlawanan. Yang ada kini tangan kananku hanya
memegang tangan kirinya.
“Hayoh, coba tarik lagi, orang Tante cuman pengen tau doang kok !”
katanya lagi, sepertinya beliau tahu bahwa aku akan merasakan sakit bila
aku coba-coba meronta lagi,
“hehehe.. lumayan juga punya kamu Fan, lumayanlah buat ukuran orang
indonesia”, katanya lagi, duh, ni Tante, orang lagi kesakitan begini,
sempet-sempetnya lagi ngukur punya aku, lagian punyaku kan udah setengah
lemes, ya ciutlah, lagian juga kalo lagi tegang, gak panjang-panjang
amat, palingan juga sekitar 12-13 cm, gak kaya punya suaminya, yang
mungkin gedenya segede apaan tau, ya namanya juga orang bule.
“Aduh.. sakit Tan… ampe lemes nih, tante sih.. maen cengkram aja”
kataku setengah menggerutu, sambil menarik napas dalam-dalam dan
menghelanya dengan hentakan, layaknya orang habis berolah raga dan ingin
memulihkan staminanya kembali.
Aku melepaskan tanganku yang memegang telapak tangannya, terserah deh
mo diapain juga, asal jangan diremas kayak tadi lagi deh, kayaknya
badanku lemas sekali, seperti kehilangan tenaga sama sekali.
“Sakit ya… duh keciiian, sakit banget gak ?”, masa bodoh ah, dia mo
ngapain kek, yang jelas, dengan badanku yang lemas seperti ini, mataku
malah terpejam, dan aku tak memberikan jawaban maupun reaksi atas
pertanyaannya.
Dan mungkin dia merasakan, bahwa aku sepertinya tak memberikan reaksi
apapun, reaksi balasan ataupun perlawanan terhadapnya. Dan tanpa aku
duga, tangannya yang mencengkeram dedeku, dilepaskannya dan kemudian ia
membelainya dengan telapak tangannya, pada bagian jari bawah jari
tangannya, mengelus dedeku perlahan.
Entah apa yang ada dipikiranku, mataku yang terpejam, sedikit
terbuka, kulihat ke arah celanaku, tangan yang putih, halus itu
sepertinya bergerak-gerak perlahan mengelus batang kemaluanku, dari luar
celanaku. Dan sepertinya dekapan Tante Marissa kurasakan semakin erat,
benda bulat dan kenyal, sepertinya semakin menempel ketat pada
punggungku, kurasakan sepertinya putingnya semakin keras, mengganjal
seperti ada kerikil yang mengganjal. Dan aku sepertinya tidak dapat
melakukan apapun, seolah pasrah dengan apa yang terjadi.
Hingga, beberapa saat kemudian tangan beliau ditarik keatas celana
pendekku hingga keatas pinggang, menarik keatas sedikit bagian bawah
kaosku, mengusap perutku perlahan, membuatku tergelitik, namun
sepertinya ini membuatku semakin nyaman, kemudian ia mengangkat karet
pinggang celana pendek untuk memberi celah, kemudian ia menyelusupkan
tangannya kedalam celana dalamku, perlahan. Pelukannya semakin erat,
membuat badanku yang tadinya dingin serasa semakin hangat, dan aku hanya
bisa terdiam, menunggu apa yang akan diperbuat Tante Marissa
terhadapku,menunggu keisengan apa lagi yang akan dilakukannya.
Perlahan bulu-bulu halus yang berada di atas kemaluanku dirabanya,
menyentuh kepala penisku, kemudian, seolah mengukurnya, jari-jarinya
membuat kuncup yang mengelilingi bagian kepala yang menyerupai helm itu,
diam sesaat, dan selanjutnya meraba bagian batang penisku dengan
telapak tangannya, menyentuh batas bawah kemaluanku, seakan beliau ingin
mengukur panjang penisku, dan kemudian beliau mengelusnya, meraba
permukaan bagian bawah batang penisku, yang sepertinya juga pasrah
dengan posisi telentang dengan kepala menengadah ke atas, seakan meminta
persetujuanku bahwa saat ini dia sedang dipermainkan oleh tangan
perempuan.
“Masih sakit gak Fan ?” terdengar suara Tante Marissa, ditelingaku,
setengah berbisik, mungkin dengan mataku yang terpejam, dikiranya aku
masih merasakan sakit, atau mungkin ia menyangka bahwa aku setengah
tertidur, dan ia tidak bermaksud membangunkanku.
Entah aku harus menjawabnya apa, namun rasa nikmat yang kurasakan
sepertinya tak ingin segera kuakhiri, ingin rasanya aku melanjutkan ke
tingkat level yang lebih tinggi, namun aku tak ingin kejadiannya seperti
barusan, ternyata beliau memang hanya ingin mengerjaiku saja, lah jelas
aja aku gak mau dikerjain 2 kali, dengan wanita yang jelas lebih
berpengalaman denganku dalam hal beginian.
Aku tak menjawabnya, hanya bergumam sedikit, heehhhhhh, seolah aku masih merasa sakit.
Dan tanpa kuduga, ia memegang sebelah kiri paha bagian dalamku, menariknya perlahan seakan ingin membuat pahaku bergeser, mencoba untuk membuka celah diantara kedua pahaku semakin melebar, ya tentu saja dalam posisiku yang miring ke kanan membelakanginya, apabila aku akan melebarkan celah diantara kedua paha kiriku otomatis aku harus mengangkatnya keatas, dan jelas mau tak mau akan membuat badanku yang semula miring, menjadi terlentang, karena aku harus memutar badanku.
Dan tanpa kuduga, ia memegang sebelah kiri paha bagian dalamku, menariknya perlahan seakan ingin membuat pahaku bergeser, mencoba untuk membuka celah diantara kedua pahaku semakin melebar, ya tentu saja dalam posisiku yang miring ke kanan membelakanginya, apabila aku akan melebarkan celah diantara kedua paha kiriku otomatis aku harus mengangkatnya keatas, dan jelas mau tak mau akan membuat badanku yang semula miring, menjadi terlentang, karena aku harus memutar badanku.
Sepertinya Tante Marissa sudah mengetahui hal ini, bdannya sepertinya
bergeser mundur sedikit namun, tetap posisinya miring menghadapku. Kini
aku kembali terlentang dengan posisi Tante Marissa berada disebelah
kiriku, bahuku sepertinya menyentuh kulit dari benda bulat, halus dan
kenyal, dan tanpa dikomando mataku melirik kearah samping, ya ampun,
kupikir ia telah menutup kembali dadanya, ternyata dada putih, bulat,
besar dan ranum itu masih terbuka dengan seperti menantang untuk
dijamah.
Dan sepertinya Tante Marissa tahu kalo aku melirik kearah dadanya,
dan kemudian tangannya yang mememegang dedeku ditariknya, dilepaskannya,
kemudian ia mendekatkan bibirnya ketelingaku dan berkata setengah
berbisik,
“Kamu suka sama dada Tante Fan ?, kalo kamu suka dan mau pegang,
pegang aja, ga papa kok, boleh ” dan kemudian ia menarik badannya,
membuatnya menjadi terlentang.
Terkaget aku dan sepertinya otakku sudah gelap, tak ada pikiran
apapun, seakan menjadi kosong, melupakan apa yang tadi terjadi, ditambah
lagi dedeku semakin tegang akibat dari perlakuannya tadi. Aku menengok
kearahnya, seakan meyakinkan bahwa yang aku dengar barusan adalah benar,
benar keluar dari mulut tante marissa, dari mulut yang dilingkupi bibir
seksi ini, namun aku sepertinya tak ingin menunggu jawaban darinya,
segera aku mencoba meraih payudara montok itu.
Aku mengangkat tangan kiriku, namun bila menggunakan tangan kiriku,
aku hanya bisa menyentuhnya dengan punggung tanganku ini, tak mungkin
aku memegang atau meraba dengan telapak tanganku, ini akan membuat
tanganku terpelintir, jadi aku hanya bisa merasakan buah dada yang
putih, kenyal dan montok itu hanya dengan menyentuhnya saja dengan
punggung tangan kiriku.
Hmm.. mencoba aku menyentuhnya, merasakan kulit halus dari dada putih
tersebut, mengusap-usapnya dengan perlahan, menyentuh putingnya dengan
punggung jari-jariku, lalu aku mencoba menjepit putingnya, menariknya
perlahan, dan Tante Marissa sepertinya menikmati sentuhan punggung
tanganku, kulihat matanya seperti terpejam. Dan rupanya rasa ingin lebih
kembali menerpaku, aku segera berbalik badan, dengan menggeser sedikit
badanku, agar ada jarak buatku untuk berbalik badan, memiringkannya
kearahnya, bermaksud untuk mengganti tugas tangan kiriku dengan tangan
kananku !.
Kini di hadapanku, tepat di depan mataku, teronggok bukit indah,
munjung, dengan kulit halus dan lembut, dalam cahaya remang seolah tidak
memudarkan warna putih yang melingkupinya, pada puncak bukit tersebut,
terdapat lingkaran kecil, berwarna coklat kehitaman, dengan putingnya
yang kelihatan sudah tegak, mengeras.
Tak tahan aku untuk berlama-lama hanya dengan memandanginya,
kurengkuh bukit itu dengan tangan kananku, perlahan, menyentuh
permukaannya, mengelusnya, merasakan permukaan halus nan lembut itu,
mengitari lingkaran berwarna dengan ujung jariku, dengan sesekali
menyentuh putingnya, dan menekannya, membuat remasan-remasan kecil,
membuat tante Marissa melenguh pelan, menikmati sensasi yang keberikan.
Napas tante Marissa kelihatannya sudah tak teratur, tarikan napas
panjang, dengan hembusan napas yang rada menghentak, seakan menandakan
bahwa beliau benar-benar menikmati perlakuan yang aku terima. Seingatku
baru kali ini aku melakukan hal ini pada wanita yang benar-benar dalam
keadaan sadar, yang benar-benar menikmati apa yang kulakukan
terhadapnya.
Teringat aku akan apa yang aku pernah lakukan terhadap Tante Mala,
Moza, Mita, Maya, dan tante Sandra, mereka semuanya biasanya “kukerjai”
saat mereka hilang akan kesadaran, entah tertidur pulas, atau dalam
keadaan mabuk, mungkin inilah yang disebut dengan istilah
“Bidirectional” Hehe…
Beberapa saat aku melakukan hal tersebut, dari mulai, menyentuh,
meraba, menekan, meremas dengan halus, memilin-milin ujung putingnya,
hingga, meremasnya dengan gemas. Kutatap wajah tante Marissa, kulihat
matanya, dan bola mata kami seakan beradu pandang, kulihat mata yang
bening dan indah itu, seperti nanar, tanpa ekspresi, seolah pasrah,
seolah berkata, bahwa ia sangat suka aku perlakukan seperti itu, dan
terserah kamu mau apa, silahkan kamu nikmati apa yang aku berikan.
Dan sepertinya aku mengerti apa yang ia inginkan, aku menggeser
badanku kebawah menurunkan kepalaku agar sejajar dengan dadanya, dengan
bertumpu pada lengan kiriku, aku menyorongkan wajahku agar lebih dekat
dengan payudaranya, tercium bau harum khas wanita yang membuat gairah
lelakiku semakin menggelora.
Tante Marissa seakan mengerti apa yang hendak kulakukan, tangannya
bergerak kearah payudara sebelah kanannya, merengkuhnya, dan membuat
remasan, hingga bukit indah yang membusung itu terlihat semakin
membusung, dengan putingnya yang semakin menantang, menyodorkannya
kepadaku untuk segera aku nikmati.
Kontan aku menjulurkan lidahku, bagaikan ingin segera mencicipi
makanan lezat dihadapanku, kusentuh puting keras dan menjulang itu
dengan ujung lidahku, mengecapnya seolah ingin merasakan apa yang
terkandung padanya.
Kumainkan ujung lidahku, membuat putaran-putaran kecil pada ujung
payudara itu, bagian permukaan lidah yang kasar seakan memberikan
sensasi yang dahsyat pada Tante Marissa, napasnya semakin tak teratur,
kulihat pada sorot matanya, seakan menyuruh aku agar jangan menghentikan
aksiku, hal tersebut membuat gairahnya semakin tak menentu, melenguh
panjang dan perlahan, buah dadanya semakin disorongkan kearahku, meremas
dengan tangannya sendiri dengan remasan yang kasar dan itu membuat buah
dada yang besar, bulat, semakin membusung, dan mengeras.
Tangan kananku yang bebas kini juga mulai melakukan aksinya,
menyerang buah dada sebelah kirinya, tanpa didahului dengan serangan
halus, namun langsung dengan gencar melakukan serangan dahsyat,
merengkuh, meremas-remas dengan kasar. “Oughhh “ setengah terkejut
mungkin dirasakan oleh Tante Marissa saat mendapat serangan lanjutan,
pekikan tertahan disertai dengusan napas menghela, menyertai serangan
yang kulancarkan.
Suhu udara yang dingin menjadi tak terasa, bagian dada Tante Marissa
seakan menjadi basah oleh keringat dan air liurku, serangan yang
kulancarkan semakin gencar. Tanpa aku sadari tangan Tante Marissa, yang
semula berada didepanku ditariknya dan meletakkannya dibelakang kepalaku
seakan menyuruh aku untuk tidak menghentikan serangan sama sekali, dan
semakin membenamkan kepalaku pada dua gunung kembar itu. Aku menerkam
puting yang sedikit menjulang masuk kedalam mulutku, memainkan lidahku
saat ia berada didalam, mengulumnya, menghisap-hisapnya layaknya permen,
seakan aku ingin menelannya. Beberapa saat telah berlalu, hingga…
Tangan tante Marissa tiba-tiba menarik kepalaku, membuatku kepalaku
terangkat, terkaget aku, segera aksiku kehentikan, kupandangi wajah
Tante Marissa, memandangnya seolah bertanya, apa yang terjadi ?. kukira
ada sesuatu yang membuat aksiku dihentikan olehnya, jangan-jangan Tante
Mala atau Moza terbangun dan keluar kamar, kemudian melihat aksi kami
berdua, duh.. mati aku !. dari posisiku ini jelas aku tak akan tahu, apa
yang terjadi, saat aku tertelungkup, menikmati buah dada sang Tante,
berarti posisi kamar Tante Mala dan kamarku yang ditempati Moza berada
dibelakangku, jadi aku tidak akan tahu bila pintu kamar salah satu dari
mereka tiba-tiba terbuka dan memergoki apa yang aku lakukan !,
“Fan.. fan.. sudah fan…” begitu tiba-tiba keluar kata-kata dari mulut
Tante Marissa, kontan aku menyudahi seranganku, berbalik badanku seakan
mencari tahu apa yang terjadi, dalam rasa terkejutku, posisiku yang
semula bertelungkup, tengkurap, kini terlentang, bersiaga menghadapi apa
yang akan terjadi selanjutnya.
Memandang pintu di samping kananku, menatapnya, dan ternyata kedua pintu itu masih tertutup rapat
“Duh sialan, lagi seru-serunya malah disuruh berhenti, kena lagi aku
dikerjain !” gerutuku dalam hati, kuangkat kepalaku, kuarahkan
kewajahnya, kuingin bertanya padanya, apa yang terjadi ?, apakah aku
dikerjain lagi ?
Belum keluar kata-kata dari mulutku, tiba-tiba saja beliau bangkit
dari posisi rebahnya, mengambil posisi duduk, kemudian beliau mengangkat
badannya, menggeser pantatnya kearah bagian bawah tubuhku, berbalik
memutar badan, hingga wajahnya menghadap kearahku, duduk seperti
bersimpuh, mengangkat wajahnya, tersenyum kepadaku. Kemudian tanpa
kuduga, beliau menaruh kedua tangannya dikedua pinggangku, kiri kanan.
Belum hilang rasa terkejutku, tiba-tiba saja dengan cepat, beliau
menarik celana pendekku berikut celana dalamnya, hingga kebatas dengkul !
Terkejut aku dengan apa yang dilakukannya, tak ada gerakan bertahan
yang dapat aku lakukan, aku malah seolah membiarkannya terjadi, dan
malah aku menjadi pasrah, ketika tangan beliau menarik kembali celana
pendekku, aku malah mengangkat kaki kiriku, agar lubang celana pendekku
berhasil melewati ujungnya.
Selanjutnya, aku lihat tante Marissa, menggeser kaki kiriku agar
menjauh dari kaki kananku, membuat celah antara kedua kakiku semakin
melebar, dan tiba-tiba saja beliau mengangkangiku, kulihat beliau
seperti merangkak, menggeser dengkul kakinya, melewati kaki kiriku, dan
kini beliau sudah berada ditengah-tengah diantara kedua kakiku.
Dan entah apa yang harus kulakukan, beliau menatapku sejenak, sepertinya tersenyum melihatku, berkata kepadaku,
“Sssttt….kamu diam aja Fan, ini Tante kasih sesuatu yang belum pernah
kamu alami !”, aku hanya dapat memandangnya dengan pandangan yang sulit
aku jelaskan.
Dan tiba-tiba saja beliau memegang batang penisku dengan tangan
kirinya, batang penisku yang memang sudah menegang sejak tadi, dengan
tegangan yang selalu naik turun seperti PLN, begitu dicengkeramnya,
aliran darah yang melewatinya sepertinya semakin berdenyut kencang dan
itu membuatnya semakin menegang.
Tante Marissa mulai mengurutnya perlahan, memaju-mundurkannya keatas
kebawah, pelan seakan merabanya, ada sedikit rasa perih ketika kulit
halus telapak tangannya menyentuh kulit penisku, terutama saat beliau
memainkan dengan cepat, hingga ujung lubang penisku seperti
berdecak-decak. Dan kemudian ia menurunkan kepalanya, dan tanpa kuduga,
ia mencium kepala penisku, mencium dengan bibirnya yang mungil, sensual
dan indah itu. Menjulurkan lidahnya, seperti ketika aku merasai
putingnya, dan hap, tiba-tiba saja penisku sepertinya sudah tertelan
masuk kedalam mulutnya.
Aku sepertinya menikmati sensasi yang benar-benar luar biasa, sukar
untuk kulukiskan betapa nikmat apa yang kurasakan saat ini, kulihat
kearah bawahku, tampak batang penisku seperti bersinar akibat air liur
Tante Marissa yang membasahi seluruh permukaannya, sepertinya ia bekerja
keras menaik turunkan kepalanya, mengulum ujung batang kemaluanku,
menyedotnya, kemudian melepaskannya, sesekali beliau tampak memalingkan
kepalanya ke kiri dan ke kanan seakan-akan ingin memelintir batang
kemaluanku, mungkin juga dimaksudkan agar jangan sampai ada bagian yang
terlewati.
Mata beliau melirik, melihat kearahku dengan alis mata yang lentik
itu, seolah mengatakan bahwa apakah aku menikmati apa yang dilakukannya,
inilah sensasi yang belum pernah engkau alami selama ini wahai fandi.
Aku hanya terkesima melihatnya melakukan serangan balik terhadapku, aku
hanya mampu menutupi wajahku dengan lenganku, hanya mampu melenguh
panjang, manakala lidahnya yang nakal memainkan batang penisku tepat
dibawah kepala helm penisku, membuatku menggelinjang menahan rasa nikmat
yang amat sangat.
Rasanya aku ingin meraih payudara yang montok itu, yang menggelayut
sempurna, layaknya ombak yang menghempas kapal karam kesana-kemari,
namun tanganku tak mampu menjangkau payudara indah tersebut, aku hanya
mampu menarik napas dalam-dalam, menahannya sesaat, kemudian melepasnya
perlahan melalui mulutku disertai lenguhan panjang. Dan kemudian tanpa
saat kenikmatan tiada tara tersebut tengah aku nikmati, ia melepaskan
kuluman penisku dimulutnya.
Kemudian ia memajukan badannya menyorongkan dadanya sedikit kedepan,
membawa buah dada yang rasanya sejak tadi ingin aku rengkuh dan rasakan,
dengan kedua tangan yang memegang kedua buah dadanya tersebut, berusaha
menjepit penisku !
Mungkin karena licin, dan penisku yang memang lebih miring kearahku,
sehingga sepertinya penisku mencelat keluar dari himpitan kedua
payudaranya, dan mungkin juga karena aku menyadari apa yang hendak
dilakukannya, sehingga aku membantunya dengan mendorong sedikit penisku
kearah dalam, hingga payudara putih, kenyal dan besar itu mampu
menjepitnya.
Mungkin selama ini, inilah hal yang paling sangat aku ingin rasakan,
tak pernah aku bayangkan sebelumnya, bahwa aku mengalami hal seperti
ini, adegan yang mungkin selama ini hanya aku saksikan di dalam
filem-filem porno, yang kerap aku tonton dirumah teman-temanku yang
orang tuanya tergolong kaya dan mapan, ya gw mah dulu mana punya video
player ?, (boro-boro video player, celana dalem aja ngepas ada 6 biji,
warnanya sama semua, biar disangka gw punya 10 lusin dan maniak ama
warna tertentu, loh kok ada 6, kan hari ada 7 ?, ya iyalah masa tuh CD
gw mo nomorin pake nama hari ntar disangka punya 7 doang, hehehe.. ),
yang tentu saja kami pinjam secara diam-diam dan ditonton dengan
diam-diam pula, ya iyalah masa mo berisik dan teriak-teriak, kalo itu
mah nonton bola, bukan nonton bokep, lah elo baca cerita ini aja
diem-diem gak berisik, iya kan ?
“Ouggghhhh “ lagi-lagi aku hanya mampu mengeluarkan suara lenguhan
agak parau, manakala pabrik susu yang besar itu mulai mengurut penisku,
naik turun, menjepit penisku dengan kedua payudaranya, terlihat nampak
seperti bergonjang-ganjing, naik turun, mendekap erat penisku pada
belahan payudara tersebut, seakan tak membiarkannya terlepas dari
jepitannya. Sesekali beliau menjulurkan lidahnya, menjilat kepala
kemaluanku, dan kemudian mengulumnya, memasukkannya kedalam mulutnya.
Terus dan terus dilakukannya berulang-ulang, beberapa saat berlalu,
kasihan juga aku melihat Tante Marissa, peluh sepertinya mengucur deras
dari dahinya, membasahi punggungnya, menetes hingga kedadanya, udara
malam yang dingin ini seakan tak membuat kami merasakannya, aku yang
masih menggunakan kaos, mungkin masih merasakan dingin, namun kulihat
Tante Marissa yang dadanya terbuka serasa berada di dalam ruangan yang
panas.
Dedeku semakin tegang dan tegang, serasa aliran darahku terpompa
kencang, aku hanya pasrah, melihat Tante Marissa memperlakukanku seperti
boneka kesayangannya, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutku untuk
mencegah atau melarang tindakannya. Beberapa saat berlalu, dan
sepertinya prosesi mengurut batang penisku seakan tak berujung, hingga
tiba-tiba saja beliau menghentikan segala aksinya, dilepaskannya
himpitan pada penisku oleh payudaranya dengan melepas tangan yang
mencengkeram kedua buah dadanya, dan kemudian beliau yang saat itu
berada pada posisi duduk membungkuk, kemudian menegakkan badannya,
sepertinya ia akan menyudahi semuanya !.
Tersenyum ia kepadaku,
“Gimana Fan udah gak sakit lagi kan ?, udah enakan kan ?” katanya
lagi tatkala ia melepaskan jepitan payudaranya pada dedeku, membiarkan
dedeku menegang sendiri, mengacung seolah memprotes kenapa ia
menghentikan aksinya.
Aku hanya bisa memperhatikan tubuhnya yang kini telah berada dalam
posisi duduk tegak, memandang wajahnya, dan tanpa aku sadari keluar
kata-kata dari mulutku,
“Tan lagi dong Tan, … masa cuma gitu doang !” entah apa maksudku,
tapi nada dari kata-kata yang aku keluarkan itu terdengar seperti
memelas atau lebih tepatnya seperti rengekan anak manja yang sedang
meminta sesuatu.
“hihihihi…. Kan tante cuma ngilangin rasa sakit kamu doang, katanya
tadi kamu sakit… hehehe, enak kan pijitan Tante ?” sahut Tante Marissa,
sambil tertawa cekikikan, dan yang lebih menyebalkan lagi, ia mengatakan
itu sambil mengedip-ngedipkan matanya,
“Jah, kena lagi aku dibikin nanggung, kuya !…. “. Rupanya ia tahu
bahwa aku kesal karena dipermainkannya, dan sambil tergelak beliau
menjatuhkan badannya kebelakang, dengan bertumpu pada kedua tangannya
yang menahan beban tubuhnya agar tak terjatuh sekaligus, dan serta merta
merebahkannya.
“huh, lemes lagi deh dedeku “ aku menggerutu sambil menggaruk-garuk
kepala bagian belakang telingaku, dan kulihat kearah bawah dari posisi
kepalaku yang rebah, tante Marissa sepertinya kegirangan karena berhasil
mengerjaiku lagi.
Namun, nampaknya ulahnya tidak sampai disitu saja, mungkin karena ia
melihatku seperti kucing yang kelaparan yang sedang menunggu tuannya
menyantap makanan, menunggu sang tuan berbelas kasihan melemparkannya
sedikit ikan, dan sepertinya ia ingin menggodaku lebih jauh…
Mungkin beberapa saat setelah tawa cekikikannya reda, tanpa menunggu
reaksiku yang sepertinya ngambek terhadapnya, tiba-tiba saja beliau
bangkit dari rebahannya. Kupikir ia bangun dan hendak pergi
meninggalkanku, kembali kekamarnya, namun yang kusaksikan ini malah
kembali membuat hatiku berdebar-debar. Dalam posisinya yang berlutut,
setengah berdiri, beliau kini malah menanggalkan pakaiannya !
“Mau ngapain lagi nih Tante ?, bodo ah, paling dia iseng mo ngerjain
aku lagi” begitu yang ada dalam pikiranku, aku hanya terdiam, hanya
melongo, terpana, melihat kearahnya, menunggu apa yang selanjutnya akan
terjadi. Entah apa yang berada dipikiranku, namun saat ini didepanku
kulihat Tante Marissa kini bertelanjang dada, dengan hanya menggunakan
celana dalamnya saja.
Dan kemudian beliau kembali merebahkan dirinya, memegang payudaranya,
mengelus-elusnya dan melihat kearahku, tersenyum, seolah-olah
mengatakan padaku,
“hayoo sini fan, maju kalo berani !”
Mungkin karena aku takut dipermainkannya lagi atau mungkin aku
bingung, tak tahu apa yang aku harus lakukan, hingga pada situasi ini,
aku hanya terpaku saja melihatnya, melihat semua tingkah dan gaya Tante
Marissa, layaknya sedang menyaksikan blue film ketika seorang wanita
sedang melakukan pemanasan seorang diri. Kulihat beliau seperti tadi.
memainkan payudaranya, mengelus-elusnya dan meremas-remas dengan
tangannya sendiri,
Dan sepertinya beliau seolah-olah mengejekku, dengan menjulurkan
lidahnya, mengangkat payudaranya dengan tangannya, dan menjilat
putingnya. Dan tak lama kemudian tangan kanannya mulai memasuki celana
dalamnya, memainkan tangannya didalam sana, seolah-olah mencari-cari
sesuatu, bergerak-gerak dengan liar, menelusuri bagian vaginanya.
Aku hanya mampu menatapnya, berusaha agar tak tergoda, namun
mengharapkan agar ia yang menarik diriku dan memperlakukannya seperti
tadi. Sepertinya aku masih ragu untuk melakukan gerakan apapun, mungkin
saat ini lebih tepatnya aku berlaku layaknya predator, menunggu saat
yang tepat untuk menerkam mangsanya, bila salah-salah sedikit bukan
mustahil sang mangsa akan kabur melarikan diri, atau mungkin ada sesuatu
yang bisa mengakibatkan diriku terperangkap !.
Dan kulihat saat ini tante Marissa, seakan masih terus menggodaku,
menatapku yang seakan tidak tertarik dengan tubuh mangsanya, seakan rasa
lapar belum menyerangku, sehingga aku tidak tertarik sedikitpun
dengannya, namun tatapan mataku seakan tak bergeming, seolah tak mau
beranjak dari tubuhnya, masih terus menatap dan memperhatikannya.
Cerita Dewasa
| Hingga beberapa lama kemudian, kulihat ia menurunkan tangan kiri yang
memegang payudaranya, menaruhnya pada pinggang dimana celana dalamnya
melekat, dan selanjutnya tanpa kuduga, beliau menurunkannya,
memerosotkan celana dalamnya hingga kebatas dengkul, melewati kedua paha
putih dan mulus itu, membantu dengan kakinya agar celana dalam itu
terdorong keluar !.
Dan kali ini tubuhnya kulihat polos tanpa sehelai benangpun !!!.
Dan kali ini tubuhnya kulihat polos tanpa sehelai benangpun !!!.
Kulihat ia tersenyum padaku manakala kulihat dengan pandanganku yang
seperti terpaku, terkejut dengan apa yang dilakukannya. Hanya tersenyum
sekilas sambil memandang diriku dan selanjutnya, ia kembali memainkan
tangannya diantara belahan selangkangannya, memainkan jari jemarinya
yang lentik, terus dan terus hingga kudengar napasnya semakin tidak
teratur, lenguhan kecil sepertinya terdengar jelas dimalam yang dingin
dan senyap seperti ini. Dan tanpa kusadari tanganku kini telah berada
pada batang dedeku, yang sepertinya mengikuti irama jari gerakan tangan
tante Marissa !.
Beberapa saat berlalu, aku seakan ikut menikmati live show didepanku,
malah seolah-olah aku turut serta dalam aktifitas tersebut, hingga
tiba-tiba saja Tante Marissa menghentikan aktifitasnya, bangkit dari
posisinya semula, bangun, dan kemudian berjalan merangkak mendekatiku.
Ia menghampiriku, melangkahkan kakinya kesamping kananku, kedua
kakiku yang masih mengangkang, terbuka lebar, dengan posisi dedeku yang
masih berdiri tegak, mengacung !.
Kupikir ia akan memainkan dedeku seperti tadi, memainkan dengan
tangannya, dengan mulutnya dan dengan payudaranya, menyelesaikan apa
yang telah ia mulai tadi. Namun ternyata ia malah merebahkan dirinya
disampingku.
Aku hanya meliriknya sekilas, seakan aku masih ngambek dengannya,
cuek setelah apa yang dilakukannya padaku tadi. Dan mungkin sepertinya
ia tahu apa yang terjadi pada diriku, ia yang semula merebahkan diri
disampingku, kini membalikkan badannya dan kini badannya yang telanjang
bulat menghadap diriku.
“Fan… mau lagi gak?” terdengar kata-kata tante Marissa ditelingaku,
walaupun sepertinya beliau mengatakan dengan pelan namun aku jelas
sekali mendengarnya, karena saat beliau mengatakan hal tersebut
terdengar hembusan napas yang mengiringi kata-kata tersebut, mungkin
kupingku dan mulutnya hanya berjarak beberapa centimeter saja. aku tak
menjawabnya, mataku tak kupalingkan sedikitpun dari televisi didepanku.
“Faaaaan….” Tiba-tiba saja terdengar pekikan Tante Marissa, walaupun
mungkin tak seberapa keras, namun karuan saja itu mengagetkanku, dan
tiba-tiba saja beliau menarik badanku, hingga aku yang tadinya
terlentang, kini badanku berbalik, menghadap kepada dirinya !
Kini wajah kami saling berhadap-hadapan, dan kini hanya beberapa
sentimeter saja didepanku, kulihat wajah tante marissa, bertatapan
langsung dengan wajahku. Sekilas tatapan mata kami saling beradu
pandang, Kulihat sorot mata tante Marissa, lain dari biasanya, dengan
sorot mata yang sayu, seolah menyiratkan suatu keinginan yang telah lama
terpendam.
Beliau memandangku, menatapku mataku lekat-lekat, dan kemudian beliau berkata kepadaku
“Fan, kamu mau gak tante kasih yang lebih dari tadi ?, tapi janji ya
kamu jangan cerita ke siapa-siapa ?, pokoknya tante ajarin kamu sesuatu,
kamu mau ?” aku tak menjawabnya, bingung harus menjawab apa, gugup aku
dengannya, wanita cantik, putih dengan wajah yang mulus, kini berada
dihadapanku, hanya beberapa centimeter saja dariku, tercium harum napas
keluar dari mulutnya.
“Em…mang… appa ….” Belum selesai perkataanku, dan tanpa kusadari,
tanpa menunggu jawabanku, tiba-tiba saja tangan tante Marissa telah
meraih batang kemaluanku.
Memang dalam jarak sedemikian dekat, tangan Tante Marissa tak perlu
mengulur panjang, dengan posisinya tadi yang berada dibawah pinggangnya,
mungkin hanya dengan satu gerakan saja, beliau sudah menangkap dedeku,
kemudian dengan serta merta mengelus-elusnya, mengocoknya perlahan,
membuat dedeku yang telah tegang kini semakin menegang.
Blingsatan aku jadinya, aku yang semula tenang kini mulai gerah
kembali, tanganku kini mulai berani bermain, kupeluk dirinya, kumainkan
dadanya dengan tanganku, sementara tangannya tak lepas dengan terus
memainkan batang penisku. Dan rasanya hasrat birahiku kini telah
benar-benar menggelora, hingga, seperti ada yang menyuruh aku untuk
mencium dan melumat bibirnya yang hanya berjarak beberapa centimeter
itu, saat aku memajukan wajahku dan hendak menarik kepalanya dengan
tanganku, dan saat itu pula, tiba-tiba ia melepaskan tangannya dari
dedeku dan menaruhnya dibibirnya untuk mencegahku melakukan hal itu…
“Sssttt… jangan fan, gak boleh, gak boleh cium bibir Tante, kalo kamu
mau cium, cium yang lain aja !” dan dengan setengah berbisik ia
mengatakan itu untuk melarang aku melakukannya, dan sepertinya agar aku
tak kecewa, atau agar suasana yang baru saja dimulai ini selesai begitu
saja, tiba-tiba saja ia memelukku dan merapatkan dadanya yang indah,
besar dan kenyal itu ke dadaku, dan kemudian ia mengangkat kepalanya,
melewati pundakku, dan menciumi leher belakang kepalaku serta menjilati
belakang kupingku.
Geli dan nikmat aku rasakan, dan manakala itu terjadi dadanya
otomatis berada didepan mulutku, yang langsung aku sambar untuk aku cium
dan jilati pula, dengan ditingkahi oleh hisapan-hisapan ringan pada
putingnya.
Lama kami melakukan itu, saling cium dan jilat, membuat dedeku
semakin tegang dan sepertinya menyodok-nyodok bagian bawah tante
Marissa, seakan-akan mencari celah diantara kedua belahan pahanya, dan
itu mungkin dirasakan oleh Tante Marissa, karena tiba-tiba saja iya
menurunkan tangannya dan meraih penisku. Dipegangnya erat batang
penisku, dikocoknya perlahan seakan hanya mengelus-elusnya saja,
menambah napsuku yang sudah dipuncak menjadi semakin memuncak.
Tante Marissa tanpa kuduga tiba-tiba saja menghentikan pelukan dan
ciumannya pada diriku dan tanpa kuduga, beliau merapatkan badannya pada
diriku, menurunkan tangan yang satunya kebawah, dan kini kedua tangannya
sepertinya berebut untuk memegang penisku !.
Dan tak lama kemudian, tante Marissa seakan mengarahkan penisku ke
dataran tinggi dibawah perutnya, dataran yang sedikit memunjung,
membentuk cangkupan menyerupai gundukan, dengan ditumbuhi hutan yang
tidak seberapa lebat, seakan menuntun sang penis agar mendarat pada
tempat yang tepat. kemudian beliau dengan menggunakan tangannya menarik
dedeku, menggosok-gosokkan ujung kemaluanku pada bibir kemaluannya, dan
kurasakan sepertinya pada bagian dalam bibir kemaluannya kini telah
basah !.
Sulit sekali sepertinya pada posisi kami berbaring seperti ini, saling memiringkan tubuh dan berhadap-hadapan, sepertinya bibir kemaluannya tertutup rapat, sulit bagi kepala kemaluanku untuk menerobos masuk, hingga…..
Sulit sekali sepertinya pada posisi kami berbaring seperti ini, saling memiringkan tubuh dan berhadap-hadapan, sepertinya bibir kemaluannya tertutup rapat, sulit bagi kepala kemaluanku untuk menerobos masuk, hingga…..
Seolah mengerti akan keinginanku, Tante Marissa mengangkat kaki
kanannya, seakan memberi peluang bagi dedeku untuk mendapat celah lubang
dan menerobos masuk, dan sepertinya kesempatan itu tidak disia-siakan
oleh dedeku, seakan atas inisiatip sendiri, pantatku membantunya,
mendorong kedepan, sehingga amblaslah dedeku masuk kedalam lubang
vaginanya dengan cepat.
Dan Tante Marissa seakan terkaget oleh aksi dari Dedeku, terhenyak
sebentar, seakan menahan pekikan agar tak keluar dari mulutnya, namun
sesaat kemudian sepertinya ia menerima penetrasi dari dedeku, bergumam
lirih, seperti mengucapkan “hmmmm”, dan kemudian ia malah
menggoyang-goyangkan pantatnya seakan menyuruhnya untuk maju mundur !.
Dan sepertinya aku juga tidak tinggal diam, kuikuti irama dari
pantatnya, namun aku membuatnya berlawanan arah, hingga apabila dia
maju, aku ikut maju, dia mundur aku ikut mundur, dan itu jelas
mengakibatkan gesekan yang luar biasa, karena membuat dedeku menjadi
seperti keluar masuk vaginanya !.
Beberapa saat kami melakukan itu, detik–demi detik , menit demi
menit, rasanya tak ingin aku menghentikan itu, ada yang berdegup kencang
di dalam dadaku, ada rasa takut, takut jika ada yang menyaksikan
kegiatan kami berdua, takut bila sekonyong-konyong muncul orang
memergoki kami berdua, tante Mala atau Moza, yang mungkin terbangun. Aku
seakan menikmati apa yang diberikan oleh tante Marissa dengan hati yang
was-was, menikmati segala perlakuannya padaku sambil berwaspada
mengamati situasi yang mungkin aku takutkan terjadi.
Tapi nampaknya tante Marissa seakan tak perduli dengan rasa
khawatirku, beliau sepertinya menikmati sekali dengan apa yang kami
lakukan, goyangan bagian bawah pinggulnya semakin menjadi-jadi, aku yang
terpaksa harus meluruskan batang dedeku agar dapat mengimbangi posisi
lubang kemaluannya, sepertinya rada tertarik dan membuatku merasa nyeri,
wajahku sedikit meringis, dan sepertinya itu terlihat oleh Tante
Marissa.
Tiba-tiba saja, ia mengangkat badannya, dan tanpa mencabut dedeku
yang masih berada didalam vaginanya, dibantu oleh tangannya, mendorong
tubuhku dengan tubuhnya, berguling, kini posisi kami berubah, tante
Marissa kini berada diatasku.
Tante Marissa memelukku dengan erat, menindihku, seakan ingin
menghentikanku bernapas, payudara putih dan montok itu kini berada
ditengah-tengah dada kami, kenyal terhimpit, kurasakan putingnya yang
telah tegang dan mengeras itu seperti menempel pada putingku.
“Gimana fan ? enak kan ?, sekarang kamu akan Tante kasih pelajaran kedua !” terlontar kata-kata itu dari mulutnya,
“eh yang keberapa ya ? gak tau deh, kamu yang hitung, hihihi.. !” cekikikan tante Marissa, namun tak lama, karena setelah itu beliau malah menciumi bagian pipiku, dan setelah itu berlanjut ketelingaku.
“eh yang keberapa ya ? gak tau deh, kamu yang hitung, hihihi.. !” cekikikan tante Marissa, namun tak lama, karena setelah itu beliau malah menciumi bagian pipiku, dan setelah itu berlanjut ketelingaku.
Dijilatnya pelan telingaku, memainkan lidahnya ditengkukku, kemudian
beliau menciumi leherku dan tanpa kusadari, kini ia malah memainkan
pantatnya, menaik-turunkan pantatnya dengan mulai perlahan serasa diayun
kemudian dilakukannya cepat dan makin cepat.
Tak ada kata-kata yang kuucapkan untuk menjawabnya, seolah mulutku
tertutup rapat, tak tahu apa yang harus kulontarkan, yang ada hanya ada
rasa nikmat yang amat sangat, tatkala ia kembali menaikturunkan
pantatnya, layaknya ulat yang sedang berjalan merambat batang ranting,
dengan meliukkan tubuhnya menjalari tubuhku.
Dan sepertinya ia ingin memberikan aku sensasi dan pengalaman yang
mungkin aku belum pernah alami, tiba-tiba saja ia menarik baju kaos yang
masih menempel pada tubuhku, ditariknya ke atas hingga ke leher, dengan
isyarat tangan ia memintaku untuk melepasnya. Aku menuruti kemauannya,
kubiarkan ia melepas kaos tersebut, kuangkat tanganku untuk mempermudah
ia melepaskannya.
Dan sesaat kemudian, aku juga telah polos tanpa ada kain yang menutupi tubuhku !.
Dan selanjutnya serangan berupa kecupan-kecupan dan jilatan-jilatan
melanda tubuhku, mulai dari pipi, leher, hingga kedadaku, sepertinya ia
hendak menciumi terus seluruh tubuhku hingga kebawah, namun nampaknya ia
tak rela untuk mencabut vaginanya yang menancap pada penisku, hingga
ciumannya hanya sebatas putingku saja. aku yang sedari tadi hanya pasif
saja, menerima saja apa yang dilakukannya kini mulai bergerak aktif,
tanganku yang semula tergeletak disamping badanku, kini mulai terangkat,
menyentuh bagian bokongnya, seakan ingin membantunya naik turun, dan
tanpa kusadari kini tanganku mulai meremas-remas bokongnya !.
Entah berapa lama kami melakukan itu, namun yang jelas, aku sangat
menikmati apa yang dilakukannya terhadapku, payudara yang kenyal yang
terhimpit diantara badanku dan badannya, tiba-tiba saja menimbulkan rasa
yang membuat aku untuk melakukan sesuatu terhadanya, aku melepaskan
tanganku yang berada pada bokongnya, kemudian menyelipkan diantar tubuh
kami, kucengkeram benda putih, besar dan kenyal itu, kulakukan
remasan-remasan padanya, dan nampaknya tante Marissa, menikmati apa yang
kulakukan padanya.
“Fan kalo sperm kamu mau keluar, keluarin aja ya ? jangan
takut-takut, tante udah disteril kok “ kudengar bisikan tante Marissa
pada kupingku, aku tak menjawabnya mungkin karena saking nikmatnya
dengan penetrasi yang dilakukan oleh tante Marissa pada diriku, aku
hanya dapat menjawabnya
“He eh tan” disertai anggukan cepat, namun suaraku sepertinya hilang tertelan oleh deru napasku yang memburu.
Dan selanjutnya, ketika hasrat birahiku meluap-luap, ketika moment
yang sepertinya sangat berharga ini tak ingin aku lepaskan, tiba-tiba
saja Tante Marissa bangkit dari posisi rebahnya dibadanku, mengangkat
kakinya dan menggesernya kedepan, sehingga kini posisinya seperti duduk
setengah berjongkok dengan penisku yang menancap layaknya paku.
Dengan bertumpu pada kakinya, tante Marissa sepertinya semakin liar,
beliau kini malah seperti bebas menggerak-gerakkan seluruh tubuhnya,
menggoyang pantatnya kekiri kekanan, layaknya mengulek-ulek penisku agar
hancur didalamnya. Kemudian berganti memaju-mundurkan pantatnya seolah
akan menggerus apa yang berada dibawahnya.
Aku hanya mampu melenguh, menarik dan menghembuskan napasku dengan
cepat sulit sekali mengikuti irama yang dilakukan oleh Tante marissa,
kadang bila goyangannya kuikuti dan sejalan dengannya, tiba-tiba saja
berubah, beliau mengubah pola goyangannya.
Yang jelas apa yang kurasakan saat ini memang aku baru mengalaminya,
napasku seperti terengah-engah dibuatnya, Aku tidak dapat mengikuti
irama permainannya, namun sensasi yang kurasakan begitu nikmatnya,
goyangan-goyangan yang dilakukannya, begitu terasa pada seluruh
kemaluanku, mulai dari kepala, batang hingga pongkol penisku begitu
terasa, kadang aku ikut menggoyang pantatku, naik turun, seakan-akan
membiarkan seluruh penisku amblas ke dalam vaginanya.
Saat tubuhnya bergoyang-goyang, aku menikmati pandanganku pada tubuh
diatasku, payudara putih dan besar didepanku, bergonjang-ganjing
bagaikan ada gempa yang menerpanya, terayun-ayun bagaikan hendak jatuh
menimpaku, dan kemudian Tante Marissa menaruh tangannya pada kedua buah
dada nan montok itu, meremas- remasnya, seakan memberi isyarat kepadaku
agar melakukannya.
Dan kuikuti kemauannya…..
Entah berapa lama kami melakukannya, waktu tak terasa,
goyangan-goyangan liar yang dilakukannya, seakan melupakan kami akan
waktu serta udara malam yang dingin menjadi tak terasa. Kurasakan batang
penisku kini juga semakin tegang dan liar, seakan apa yang diberikan
oleh Tante Marissa masih kurang, kadang kuangkat pantatku tinggi-tinggi,
agar penetrasi penisku semakin dalam menerobos vaginanya.
Dan kulihat tante Marissa juga menikmati pelajaran yang diberikannya,
entah sepertinya beliau begitu menghayatinya, kulihat mata beliau
sepertinya terhanyut dengan apa yang kami lakukan, deru napas memburu
diiringi desahan-desahan terdengar jelas walau halus.
Beberapa saat berlalu, ketika kurasakan jepitan pahanya pada tubuhku
sepertinya semakin menghimpitku, goyangan yang dilakukan oleh tante
Marissa terhenti sejenak, hingga kulihat seperti ada lenguhan dan
hempasan napas diiringi tubuh yang bergetar, entahlah apa yang dirasakan
oleh tante Marissa, namun kurasakan pada batang penisku semakin basah
seakan ada benda cair menyiramnya. Mungkin ini yang dinamakan orgasme,
karena kuperhatikan pada wajah Tante Marissa, dibalik peluh yang
membasahinya, tampak seperti memperlihatkan tanda kepuasan.
Dan tiba-tiba saja penisku terlepas dari genggaman vaginanya, kulihat
tante Marissa bangkit dari duduknya, berdiri bagaikan hendak mengakhiri
permainan ini. Tentu saja jelas hal ini membuatku kaget, bagaimana
tidak, aku yang sejak tadi dibuat nanggung olehnya, masa harus mengalami
lagi seperti tadi, “Sialan” mengumpat aku dalam hati, jika saja tante
Marissa benar-benar melakukannya lagi, mengerjaiku hanya sampai setengah
jalan !.
Namun, nampaknya tante Marissa tak berhenti hanya sampai disini,
beliau yang kini berdiri mengangkangiku, tiba-tiba saja menarik
tanganku, menyusuhku untuk berdiri, bangkit dari posisi rebahku. aku
sepertinya pasrah dengannya, menuruti ajakannya, ikut bangkit,
mengikutinya !
Tante Marissa berbisik ditelingaku,
“Fan, sekarang pelajaran berikutnya” dan kemudian ia seolah
membimbingku, berbalik berjalan seraya menaruh tanganku diperutnya, dan
seakan menyuruhku untuk memeluknya dari belakang, mengikutinya.
Entah apa maunya, dedeku yang masih tegak mengacung, kini menempel
pada pantatnya yang munjung, songgeng, seakan hendak menyelinap diantara
belahan pantatnya itu. Tanganku yang berada dipinggang, dengan telapak
tangan menyentuh begian perutnya, membuat tekanan pada tubuh tante
Marissa semakin erat menempel pada tubuhku. Hmm, kupikir tante Marissa
akan mengajakku untuk pindah ke kamarnya, melanjutkan prosesi hubungan
intim kami ditempat yang lebih aman.
Namun perkiraanku ternyata meleset….
Ketika aku sedang menikmati saat-saat pergerakan kami tersebut,
sensasi yang kurasa membuat gairah laki-lakiku kembali naik, tiba-tiba
saja beliau memundurkan badannya, sehingga akupun memundurkan badanku
dengan melangkahkan kakiku beberapa langkah kebelakang, dan beliau
seketika berbalik, membalikkan badannya kearahku, dan sekonyong-konyong
beliau mendorongku kebelakang, seakan hendak menolak aku, terhenyak aku,
tak menyangka akan gerakannya, tanganku seakan reflek menahan tubuhku
yang terjengkang, membuatku jatuh terduduk diatas sofa !.
Aku menatapnya dengan pikiran yang banyak menduga-duga, apa gerangan
yang akan dilakukannya lagi terhadapku, kulihat beliau tersenyum, entah
apa yang ada dipikirannya. Dan tanpa kuduga sama sekali, tiba-tiba tante
Marissa menyusulku, menghampiriku, membalikkan badannya tepat
didepanku. Kemudian seakan-akan mengambil ancang-ancang dimana letak
penisku, dengan setengah membungkuk, beliau menempatkan kakinya berada
ditengah-tengah kakiku, membuatku melebarkan kaki dan dengan
perlahan-lahan beliau menurunkan pantatnya diantara belahan pahaku.
Mungkin karena aku dalam posisi tak siap, saat pantatnya mengarah
kediriku, saat lubang vaginanya tertarik mencari penisku agar berada
pada posisi yang pas, membuatnya tergelincir dan dan terpelintir, ada
rasa sakit melandaku, dan otomatis aku mendorong tubuhnya, namun tante
Marissa sepertinya sudah tahu dan mengerti, sehingga beliau melakukannya
namun kali ini dengan pelan dan perlahan, menurunkan pantatnya mengarah
kepada penisku.
Secara reflek aku membantunya dengan mengarahkan penisku. memasukkan
penisku kedalam vaginanya dengan memgang pantatnya yang bulat,
perlahan-lahan mulai dari kepalanya, batangnya, hingga semuanya seperti
tertelan masuk kedalamnya.
Entah apa yang kurasakan, yang jelas saat ini aku merasakan hal yang
benar-benar baru kualami, sukar kulukiskan dengan kata-kata, betapa
penisku saat ini seperti tergenggam erat dengan benda hangat, dengan
permukaan yang licin dan basah namun seakan-akan meremas-remas seluruh
permukaan penisku dengan begitu lembut.
Aku hanya mampu melenguh pelan, seandainya dirumah ini tak ada lagi
orang selain kami berdua, mungkin aku sudah bersuara keras, namun
kusadari bahwa yang kami lakukan merupakan suatu hal yang hanya kami
saja yang boleh tahu. Dari tempatku duduk memang saat ini aku dapat
mengawasi kearah kamar dimana mereka berdua tidur, ya kamar tante Mala
dan kamar Moza memang tepat berada di arah depanku, membuat merasa lebih
aman, karena bila sewaktu-waktu pintu kamar tidur didepan itu terbuka,
maka aku sapat dengan cepat mengantisipasinya.
Kupegang kiri kanan pantat yang indah dan bulat didepanku dengan
kedua tanganku, seakan menyuruhnya untuk naik turun, menjaganya agar
tetap berada dalam jangkauan penisku, seakan aku tak ingin ia lepas
lagi. Dalam posisiku yang terduduk, sebetulnya tak ada yang dapat aku
lakukan lebih dari sekedar memegang pantatnya saja, kendali sepenuhnya
berada ditangan Tante Marissa. Beliau lebih banyak bergerak seakan tak
mengenal lelah, menaik-turunkan pantatnya, dengan berpegang pada
tangannya yang memegang kedua pahaku. Memang ada sedikit rasa sakit pada
pahaku saat kedua tangannya menekan pahaku guna membuat pantatnya
terangkat naik.
Dan lebih lebih lagi pada saat beliau menurunkan pantatnya
perlahan-lahan, pahaku seakan ditekan dengan keras, namun itu tak
kurasakan sama sekali, karena rasa nikmat yang amat sangat
menyelimutiku, membuat seluruh tubuhku terasa bergetar sampai
keubun-ubunku.
Beberapa saat berlalu, entah berapa lama kurasakan kenikmatan ini,
sebetulnya aku sendiri merasa heran, mengapa dedeku yang biasanya hanya
mampu bertahan beberapa menit saja, kini kurasakan cukup lama bertahan,
apakah mungkin karena rasa takut ketahuan membuat pikiranku bercabang,
sehingga ejakulasiku menjadi lebih lama dari biasanya, ataukah karena
aku baru saja mengeluarkannya beberapa saat yang lalu ketika aku
mencumbui moza sehingga dedeku perlu waktu untuk mengisi ulangnya.
Entahlah, namun yang jelas pikiranku saat ini hanya terfokus bagaimana
aku menikmati apa yang diberikan oleh Tante Marissa.
Tante Marissa sepertinya juga sangat menikmati dengan apa yang
dilakukannya, kulihat beliau saat mendudukan pantatnya diatas kedua
pahaku seperti ada yang membuatnya tergetar, kepalanya kadang
digerakkannya kekanan dan kekiri, sementara pantatnya melakukan gerakan
yang membuat dedeku seakan berputar, keatas, kekiri, kebawah dan
kekanan, begitu terus.. dan terus… dan beliau seperti tadi, melakukan
gerakan yang tak dapat kuduga, memang hal ini membuat dedeku terasa
sakit namun seolah ditekuk tapi segera hilang ditutupi oleh rasa nikmat
yang amat sangat.
Detik demi detik berlalu, menit demi menit kami lewati tanpa ada rasa
nikmat terlewati, dan sejauh ini tante Marissa sepertinya memegang
kendali penuh atas diriku, sesekali aku memeluknya dari belakang,
menciumi bagian punggung hingga leher, sembari tanganku memegang
payudaranya, meremas-remasnya, memainkan putingnya dan sesaat kemudian
kembali meremas-remasnya dengan keras dan itu sepertinya cukup untuk
menambah sensasi kenikmatan dari apa yang kami lakukan.
Napas kami seperti sudah tak beraturan, kudengar desahan-desahan, dan
racauan yang tak kumengerti yang keluar dari mulutnya, hingga
dipenghujung malam ini kudengar seperti suara lenguhan panjang yang
tertahan. Tubuh tante Marissa seperti bergetar dengan hebat, kepalanya
tertarik kebelakang, genggaman vaginanya serasa mencengkeram dengan
keras,dan beberapa saat kemudian cairan hangat sepertinya membanjiri
batang penisku.
Tante Marissa menyandarkan tubuhnya pada tubuhku tanpa melepaskan
penisku yang masih tetap berada dalam vaginanya, peluh membanjiri
tubuhnya, dimalam yang dingin ini, tak ada kata-kata yang keluar dari
mulutnya, hanya hembusan menyentak seakan melepaskan rasa lelah yang
amat sangat. Matanya melirik kearahku, tersenyum sekilas, mungkin dalam
hatinya ia merasa puas dan juga merasa heran, puas karena ia telah
mencapai orgasmenya yang kedua, dan heran karena aku belum juga mencapai
puncak ejakulasiku.
“Fan… sekarang pelajaran selanjutnya” setengah berbisik ia
memandangku sambil mengelus pipi kiriku dengan tangannya, aku hanya
terdiam memandangnya, tersenyum seakan menanti jurus berikut yang akan
diturunkan oleh guru kepada muridnya.
Kemudian tiba-tiba saja tante Marissa bangun, melepaskan penisku yang
masih tegang didalam vaginanya, tanpa melangkah beliau berguling ke
kanan, dari atas badanku ke sofa, kemudian beliau mengangkat kakinya dan
kemudian menunggingkan badannya, dengan posisi pantat berada didekatku
dan kepalanya diujung sana.
Melirik kepadaku seolah menyuruhku untuk menuntaskan apa yang belum
aku dapat, menyuruhku agar aku memegang kendali terhadapnya,
menyorongkan pantatnya, mempersilahkan lobang vaginanya untuk aku
manfaatkan, dengan meletakkan tangannya pada vaginanya seakan
menunjukkan bahwa disitulah tempat dimana lubang kenikmatan yang harus
aku manfaatkan sebaik-baiknya.
Tak kusia-siakan kesempatan yang mungkin langka ini, mungkin inilah
yang selama ini kuimpikan, dari pembicaraan dengan teman-temanku yang
sudah menikah, katanya posisi inilah yang paling nikmat, tapi entahlah,
sepertinya semua posisi menurutku adalah sama, karena selama ini aku
belum pernah melakukannya dengan siapapun, melakukan hubungan intim
dengan wanita yang benar-benar rela dan sepenuhnya sadar dengan apa yang
dilakukannya. Ya, selama ini aku melakukan dengan wanita hanya satu
arah saja, sedangkan apa yang kualami saat ini adalah benar-benar nyata,
benar-benar wanita dewasa yang cantik jelita, dengan tubuh yang
sempurna, yang dengan rela menyerahkan tubuhnya kepadaku untuk aku
nikmati.
Aku segera berputar badan, mengangkat kakiku ke sofa, menekuknya,
kemudian aku berdiri dengan bertumpu pada kedua lututku, dan sekarang
penisku mengarah pada pantatnya, tepat didepannya kini terpampang vagina
tante Marissa !.
Perlahan aku mendorongkan penisku ke depan, tepat kepada lubang
vaginanya yang mengangkang, memasukkannya perlahan, dan aku tersenyum,
karena kini akulah yang memegang kendali terhadapnya. Perlahan aku
masukkan bagian kepala penisku, mendorongnya pelan-pelan, kulihat kearah
kepala Tante Marissa yang menengok kearahku, sepertinya beliau meminta
aku agar dengan cepat aku memasukkanya kedalam vaginanya. Namun,
sepertinya aku ingin membalasnya, ketika penisku sudah masuk sebagian,
kulihat beliau sepertinya terhenyak, kemudian memejamkan matanya,
memalingkan wajahnya dariku, lurus kedepan, seolah akan menikmati
terobosan penisku.
Namun aku menahannya sebentar, dan kemudian tanpa ia duga, aku
menariknya kembali dengan hanya meninggalkan kepala penisku didalamnya.
Tante Marissa, menengok kembali kearahku seakan memprotes tindakanku,
aku tersenyum sambil cekikikan pelan, “Kena” kataku perlahan, kemudian
tanpa ia duga, aku mendorongnya keras-keras hingga membuatnya terpekik.
“Fandi…!” katanya seolah menjerit dengan ditahan, nampaknya ia terkaget
dengan yang aku perbuat. Namun aku seolah tak mendengar suara
pekikannya, karena kemudian aku menariknya lagi dan mendorongnya lagi
dengan cepat dan keras, membuatnya sedikit terpental.
Dan kemudian aku mendorong dan menariknya dengan cepat, seakan
mengocok-ngocok penisku, yah, mungkin inilah yang ditanyakan Tante
Marissa tadi, apa yang kubayangkan seandainya aku melakukan ritual coli,
sesungguhnya inilah yang aku sering imaginasikan, dengan perempuan
cantik yang nungging dengan pasrah menerima apa yang aku lakukan
padanya.
Terus dan terus aku lakukan, menarik, mendorong penisku kedalam
vaginanya, membuatnya terayun-ayun, kadang aku mendorong tubuhku agar
dapat memeluknya, menjangkau payudara putih, indah dan kenyal yang
bergoyang menggemaskanku, tanpa melepaskan penisku yang terus melakukan
aktifitasnya disana. Kadang Tante Marissa juga menggoyang-goyangkan
pantatnya kekiri dan kekanan, kadang seolah meliuk-liuk melakukan
putaran, menambah sensasi kenikmatan yang kami lakukan.
Dari mulutnya juga keluar desahan-desahan halus dan deru napas yang kembali tidak teratur.
Entah timbul dari mana, dipikiranku terlintas ingin membalas lagi
keisengannya tadi, saat sedang gencar-gencarnya, aku melakukan penetrasi
padanya, saat sepertinya ia sedang asyik masyuk dengan apa yang aku
lakukan, tiba-tiba aku hentikan gerakanku, diam, seakan aku sedang
memasang telinga, melihat kearah pintu kamar Tante Mala atau Moza,
seolah-olah menyatakan bahwa mereka keluar dari kamar.
Dan itu juga membuat tante Marissa terhenti, mengangkat kepalanya
memandang kearah mana aku memandang, namun begitu ia menyadari bahwa tak
ada sesuatupun yang terjadi, dan mengetahui bahwa ia sedang aku
permainkan, keluar kata-kata “Fandi …kamu ah !” menyebut namaku seakan
memprotes apa yang aku lakukan, dan aku terkekeh melihatnya, seraya
melanjutkan apa yang tadi kulakukan, mendorong kembali penisku,
menariknya, seakan mengocoknya dari perlahan, kemudian mempercepatnya
dan semakin cepat.
Pantat tante Marissa yang bulat menantang, seperti yang selama ini
selalu kubayangkan bila aku melakukan self service, kinibenar-benar
nyata berada didepanku, sepertinya aku ingin menikmati semua menu yang
tersedia didepanku, mulai dari pantatnya yang kuremas-remas,
menepuk-nepuknya seperti adegan dalam film porno yang pernah aku
saksikan, walaupun aku tak tahu apa yang dirasakan oleh Tante Marissa,
namun sepertinya memang ada reaksi terhadapnya, kemudian memegang
pinggulnya yang laksana gitar, menariknya kedalam ke arahku, seakan-akan
ingin membuat ujung pantatnya menyentuh badanku, agar penetrasi penisku
menjangkau semakin dalam vaginanya, terus menerus membuat bunyi seperti
orang bertepuk tangan ketika pantatnya bersentuhan dengan bagian
sebelah atas pahaku.
Beberapa saat berlalu, sepertinya tak puas-puasnya aku
menyetubuhinya, begitu juga dengan Tante Marissa, sepertinya beliau juga
menikmati dengan apa yang kulakukan. Kurasakan beliau juga sangat
bersemangat melayaniku, melakukan perlawanan yang membuat pertarungan
semakin seru dan panas, hingga saat kurasakan penisku semakin menegang
dan mengeras, ketika tekanan dan genggaman vaginanya seolah-olah
mencengkeram dengan beringas, ketika kurasakan diujung penisku
sepertinya akan menembakkan peluru dengan hulu ledak cairan kental dan
panas, kulihat dibawahku sepertinya tante Marissa juga merasakan hal
yang sama, goyanganya semakin dipercepat, memaju mundurkan pantatnya,
napasnya kelihatan seolah terengah-engah, kulihat ia sepertinya
merapatkan pahanya, agar penisku semakin terjepit.
Sepertinya dari mulutnya kudengar seruan pelan namun jelas
“Hayo Fan !” seakan menyuruhku untuk berbarengan menuntaskan apa yang telah kami mulai.
Kudorong pantat putih, bulat, montok itu dengan kencang, kusentakkan
dengan keras, kutengadahkan kepalaku kebelakang. Aku seakan ingin
berteriak dengan kencang, ketika lendir nan wangi khas itu kumuntahkan,
namun menyadari bahwa mungkin teriakanku akan mengundang orang, aku
hanya mampu meneriakkan kata “aaaahhhrrrgggghhhhhh” dengan tertahan. Dan
mungkin pada saat bersamaan sepertinya aku juga mendengar desahan dan
lenguhan panjang mulut tante Marissa, sementara kepalanya menunduk,
terkulai lemas, namun tubuhnya masih dalam posisi semula, tangannya
masih menahan berat tubuhnya.
Kerebahkan badanku kedepan, memeluknya dari belakang, penisku
berdenyut pelan, memuntahkan sisa-sisa cairan kedalam lubang vaginanya.
Tak kusangka keringat mengucur deras dari badanku, bercampur ketika
tubuh kami bersatu. Tante Marissa menjatuhkan badannya ke sofa dengan
tubuhku masih menempel pada punggungnya. Letih dan lemas menyelimutiku,
kutarik napasku dengan pelan dan kuhembuskan dengan cepat, seolah akan
mengatur aliran napasku. Begitu juga dengan Tante Marissa, sepertinya
melakukan hal yang sama, melepaskan lelah dengan mengatur jalur
pernapasnya.
Pipi kami saling bersentuhan, saat helaan napas sepertinya sudah tak terdengar, kudengar suaranya jelas namun pelan,
“Fandi, kamu Nakal !”, aku tersenyum mendengarnya, namun aku seakan enggan untuk menjawabnya, tak ada yang keluar dari mulutku.
Saat ini aku hanya tak ingin melepaskan tindihan badanku pada
badannya, seolah ingin terus menikmati apa yang kurasakan saat ini.
Namun tiba-tiba sesuatu menyadarkanku, aku takut sepertinya ada yang
memperhatikan kami berdua, ketika sepertinya ada yang menyuruhku untuk
bangun, kucium dengan cepat,
“Makasih ya Tan buat pelajarannya”, sambil aku mengangkat badanku,
menjejakkan kakiku pada lantai, membungkuk untuk meraih pakaianku yang
berserakan di lantai.
Tante Marissa sepertinya juga melakukan hal yang sama, duduk, kemudian mengumpulkan pakaiannya yang berserakan.
Bergegas aku mengenakan pakaianku, namun saat mengenakannya, kulihat
tante Marissa, setelah memastikan pakaiannya terkumpul semua, menaruhnya
pada lengannya, mengepitnya ke tubuhnya, memastikannya tak terjatuh,
tersenyum kepadaku sesaat, meninggalkanku dengan tubuh polosnya,
berjalan menuju kamarnya.
Dan sepertinya aku juga tak ingin berlama-lama, udara dingin mulai
kurasakan, kuraih remote yang tergeletak dilantai, mematikan televisi
dan bergegas meninggalkan ruangan tengah itu, menuju kamar dimana
seharusnya aku tidur.
Cerita Dewasa
| Kutarik handle pintu dengan perlahan, memastikannya agar tak berbunyi
ketika aku membukanya, tak ingin aku melihat Moza terbangun dan
melihatku memasuki kamar, dan menanyakanku mengapa aku meninggalkannya,
bertanya padaku apa yang telah aku lakukan.
Pelan, kuhampiri ranjang tempat dimana gadis cantik itu tertidur,
meraih sisi tempat tidur, memastikan tubuh wanita itu tertidur pulas,
memastikan aku tak mengganggunya dengan kedatanganku, kurebahkan badanku
disisinya, tanpa bersuara, berusaha memejamkan mata.
Kembali bayangan-bayangan kejadian barusan yang kualami, seperti
berkelebat melewati mataku, ada rasa puas, ada rasa berderu didadaku,
juga sepertinya ada rasa bersalah menimpaku, sepertinya aku telah
mengkhianati wanita disampingku, entahlah, aku merasakan bahwa hatiku
seperti terpaku pada wanita disebelahku ini, seperti ada perasaan lain,
seakan hatiku telah terpaut dengannya, apakah aku menyayanginya lebih
dari seorang kakak dengan adiknya ?, walaupun dalam agama aku boleh
menikahinya, karena aku tidak sedarah dengannya, bukan saudara
kandungnya, bukan pula saudara sepersusuanku, melainkan hanya kakak
bawaan, karena ibuku dan ibunya adalah sepupu jauh, kakek buyut kami
saja yang sama, namun jelas kini aku telah terlarang menikahinya, karena
aku telah bersetubuh dengan ibunya juga dengan tantenya.
Pikiran-pikiran itu terus membayangiku, kupeluk tubuhnya tanpa rasa
napsu lagi, namun kini seakan rasa sayang menggantikannya, seolah aku
tak ingin melepaskannya, membuatku sedikit tenang, hingga membuatku
tertidur pulas.
Post a Comment